Perang Hibrida
Tanpa bantuan Rusia, rezim Presiden Bashar al-Assad rasanya sudah kehilangan kekuasaan di Suriah. Jalannya perang banyak front (multifront) di Suriah berubah sejak kekuatan besar militer Moskwa hadir di negara tersebut, beberapa tahun lalu.
Assad yang dulu terdesak sekarang kembali kuat dan merebut banyak wilayah yang semula dikuasai kubu oposisi.
Kehadiran Rusia di Suriah diwujudkan antara lain lewat "tentara bayaran". Dengan menggunakan tentara bayaran, pemerintahan Moskwa dapat dengan mudah membantah mengalami kerugian korban jiwa apabila ada unit militernya yang hancur.
Insiden serangan oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat yang menyebabkan "ratusan pekerja kontraktor pertahanan" Rusia meninggal di Suriah pada pekan lalu adalah contoh sangat baik. Tekanan politik besar akan dihadapi oleh rezim Vladimir Putin di dalam negeri seandainya ratusan orang yang tewas itu merupakan prajurit reguler Rusia. Namun, kejadian tersebut akhirnya dapat dilihat sebagai kecelakaan dan hanya sedikit menyentuh sentimen nasionalisme karena para korban tewas merupakan orang swasta.
Di Ukraina, Rusia juga hadir. Tentara pemberontak di Ukraina timur yang disinyalir didukung oleh Moskwa terus berperang melawan pasukan pemerintah. Belum ada solusi damai permanen bagi konflik ini.
Dugaan keterlibatan Rusia juga menjadi salah satu isu penting di Washington. Berbagai akun yang terkait dengan Rusia di media sosial didapati telah mengunggah banyak informasi palsu dan memecah belah pemilih dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Tidak hanya melalui media sosial, keterlibatan Rusia tersebut diduga juga terjadi melalui jaringan di antara sejumlah tokoh di Washington.
Penyelidikan atas dugaan keterlibatan Rusia ini sedang berlangsung. Akan tetapi, Pemerintah Rusia membantah dugaan tersebut.
Dalam kolomnya di politico.eu, penulis Molly K McKew menyampaikan, kehadiran Rusia di Suriah bukan sekadar untuk membentuk blok baru pro-Moskwa di Timur Tengah. Menurut dia, konflik di Suriah merupakan bagian dari strategi besar Rusia untuk memperlemah posisi Barat dengan cara menunjukkan bahwa, dibandingkan Barat, Moskwa lebih mampu menghadirkan stabilitas di Timur Tengah. Langkah Rusia membantu Assad habis-habisan terbukti membuat Suriah lebih stabil ketimbang sebelumnya.
Pada saat yang sama, menurut McKew, Rusia juga berusaha membuat Barat mengalami kerepotan lewat perang di Ukraina. Dalam perspektif Rusia, perang di Ukraina dan Suriah sesungguhnya memang "satu kesatuan" dalam rangka menantang dominasi Barat.
Namun, pertempuran fisik di Suriah dan Ukraina hanya sebagian dari totalitas perang yang dijalani Rusia. Bagian lain dari perang itu adalah upaya berwujud nonmiliter di bidang informasi, teknologi, ekonomi, dan sebagainya. Dengan kata lain, perang yang tengah dijalankan adalah perang hibrida (hybrid war), bukan perang konvensional biasa. Doktrin perang hibrida ini disampaikan Jenderal Valery Gerasimov, pemimpin militer Rusia.
Artikel di Global Security Review (globalsecurityreview.com) menyebutkan, terminologi perang hibrida merujuk pada penggunaan kekuatan militer dengan didukung antara lain taktik pertempuran siber. Dalam situasi kemunculan perang hibrida ini, konsep perang konvensional Barat dinilai sudah tidak cocok lagi dengan realitas.
Perang hibrida dan kehadiran kokoh Rusia di Suriah merupakan sebagian aspek yang memengaruhi tatanan mendatang. Faktor yang juga berpengaruh besar antara lain kebijakan America First dan mungkin fenomena kebangkitan sayap kanan di Eropa. Belum ada yang bisa memastikan bagaimana akhir dari proses rumit yang melibatkan faktor-faktor tersebut. (A Tomy Trinugroho)