Ghouta Terus Memanas
Dalam serangan udara yang dilancarkan tentara Suriah pada Senin (26/2), sebuah keluarga yang beranggotakan sembilan orang terbunuh. Mereka menjadi korban dalam serangan atas kantong-kantong pemberontak.
Jenazah mereka berhasil dikeluarkan dari puing-puing bangunan yang hancur lebur akibat terjangan bom-bom udara. Pengeboman atas Ghouta timur dalam sepekan terakhir telah menjadi salah satu fragmen terburuk dalam konflik di Suriah.
Setidaknya dalam tujuh hari itu, menurut lembaga Pemantau HAM Suriah (SOHR), sebanyak 522 orang tewas. Pemerintah Suriah berdalih serangan itu ditujukan untuk pemberontak dan teroris.
Sebagian wilayah Ghouta, terutama di kawasan timur, dikuasai oleh sejumlah kelompok pemberontak, seperti Jaish al-Islam dan Failaq al-Rahman, serta Tahrir al-Sham. Selain mereka, di Ghouta juga ada kelompok Front Al Nusra yang berafiliasi kepada Al Qaeda.
Dalam pembicaraan tentang gencatan senjata, Front Al Nusra tidak termasuk di dalamnya. Namun, menurut pihak oposisi, pemerintah kerang menggunakan keberadaan kelompok militan itu sebagai alasan untuk terus melakukan pengeboman.
Televisi Pemerintah Suriah mengatakan, tentara Suriah melancarkan serangan melawan kelompok militan itu di Harasta, Ghouta timur. Kantor Berita Suriah SANA juga melaporkan, tentara berhasil menghentikan ancaman bom mobil yang hendak diledakkan di Damaskus, ibu kota Suriah.
Neraka
Buruknya situasi Ghouta membuat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres prihatin. Oleh karena itu, Antonio Guterres meminta pihak-pihak yang bertikai melakukan gencatan senjata selama 30 hari di seluruh Suriah sebagaimana sebelumnya telah diserukan oleh Dewan Keamanan PBB. Badan-badan bantuan PBB pun bersiap memberikan bantuan untuk menyelamatkan warga dan mengevakuasi mereka yang luka dari Ghouta.
”Ghouta timur tidak bisa menunggu, inilah saat yang tepat untuk menghentikan neraka di bumi ini,” kata Antonio Guterres.
Akhir pekan lalu, dalam pertemuan anggota Dewan Keamanan PBB, diserukan gencatan senjata selama 30 hari. Rusia yang mendukung rezim Presiden Bashar al-Assad menyetujui resolusi itu.
”Ada sedikit pengeboman yang terjadi pada hari-hari belakangan ini. Warga sipil bergegas keluar dari tempat penampungan mereka untuk mendapatkan makanan dan kembali dengan cepat sejak pesawat tempur masih di langit dan dapat menyerang kapan saja,” kata Moayad Hafi, seorang relawan.
Kepala Staf Militer Iran mengatakan, pada hari Minggu, pasukan pro-Damaskus akan terus maju ke wilayah pinggiran kota Damaskus dengan mengatakan bahwa gencatan senjata tidak mencakup bagian-bagian pinggiran kota Damaskus ”yang dikuasai para teroris”.
Sebaliknya, otoritas kesehatan di Ghouta timur yang dikelola kelompok oposisi mengatakan, sejumlah korban serangan menunjukkan mereka terpapar gas klorin. Serangan itu yang terjadi pada Minggu malam itu menyebabkan satu anak tewas.
Serangan gas
Dalam beberapa pekan terakhir, Amerika Serikat juga menuduh Suriah telah berulang kali menggunakan gas klorin sebagai senjata. Area yang dikuasai pemberontak di wilayah Ghouta terkena serangan kimia besar pada 2013.
Tahun lalu, penyelidikan gabungan PBB dan Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) menemukan bahwa Pemerintah Suriah bertanggung jawab atas serangan pada 4 April 2017 di kota Khan. Dalam serangan itu, rezim Suriah diduga menggunakan agen sine di kota Khan yang dikuasai oposisi Sheikhoun. Serangan itu membunuh puluhan orang.
Penyelidikan tersebut juga menemukan dugaan pasukan Pemerintah Suriah bertanggung jawab atas tiga serangan gas klorin pada tahun 2014 dan 2015. Selain itu, juga ada dugaan bahwa kelompok militan menggunakan gas mustard.
Terkait dengan tuduhan penggunaan gas klorin, Damaskus membantahnya. Moskwa pun mendukung pernyataan itu. Sebaliknya, Rusia justru menuduh pemberontak yang menggunakan senjata kimia di Ghouta timur. Untuk menutupinya, mereka menuduh rezim Damaskus sebagai pengguna gas beracun.
(AP/AFP/Reuters/JOS)