Membaca Masa Lalu
Dalam hubungan internasional, ada adagium: tidak ada teman atau kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Pandangan pragmatis ini pada umumnya diyakini pertama kali dikemukakan oleh John Henry Temple atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Palmerston (1784-1865), seorang negarawan Inggris.
Jerman dan Jepang, misalnya, yang pada Perang Dunia II adalah musuh AS dan Eropa Barat, kini menjadi sekutu mereka dalam persaingan dengan Rusia dan China. Pragmatisme seperti itu juga mewarnai hubungan antara Iran dan Israel yang saat ini sama-sama menunjukkan sikap bermusuhan, dan bermimpi, atau mungkin malah bertekad untuk saling menghancurkan.
Padahal, kalau sedikit dibalik-balik perjalanan sejarah kedua negara, ada bukti bahwa keduanya pernah bersahabat baik. Setelah memproklamasikan Israel sebagai negara (14 Mei 1948), bapak pendiri Israel, David Ben-Gurion, menyadari bahwa Israel dikepung oleh negara-negara Arab. Maka, ia dan Eliyahu Sasson (seorang politisi) memperkenalkan strategi yang disebut ”Doktrin Pinggiran” atau ”Aliansi Pinggiran” atau ”Aliansi Batas Luar”. Ini sebuah strategi kebijakan luar negeri yang menghendaki Israel membentuk aliansi dengan negara-negara non-Arab dan kekuasaan di kawasan, termasuk Turki, orangorang Kristen Lebanon, dan Iran.
Ketika strategi itu diterapkan pada awal tahun 1950-an, situasi yang hampir sama dialami oleh Iran. Teheran curiga dengan tumbuhnya nasionalisme Arab, terutama setelah tahun 1953. Gerakan dan pemerintah nasionalis Arab radikal telah membuat cemas Tel Aviv dan Teheran.
Unifikasi Mesir dan Suriah (1958) dilihat oleh Israel dan Iran sebagai langkah transformasi nasionalisme Arab menjadi kekuatan ideologi dan politik dinamis. Karena itu, Israel dan Iran menjawab dengan mengembangkan hubungan, termasuk dalam bidang perdagangan, kerja sama, dan koordinasi intelijen militer. Ben-Gurion, Golda Meir, Abba Eban, Yitzhak Rabin, Yigal Allon, Moshe Dayan, Menachem Begin, dan sejumlah pemimpin Israel mengunjungi Iran (Bahram Alavi: 1988).
Ketika itu, Iran di bawah penguasa yang sangat dipengaruhi AS. Pada tahun 1953, terjadi kudeta yang di Iran dikenal dengan sebutan ”28 Mordad coup d’état”. Kudeta ini dilancarkan terhadap PM Mohammad Mosaddegh yang dipilih secara demokratis. Setelah kudeta, posisi Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi menjadi semakin kuat dan semakin dekat serta berpihak kepada AS.
Karena itu, sangat wajar jika Teheran memandang Tel Aviv yang juga didukung Washington sebagai imbangan terhadap tetangganya, negara-negara Arab. ”Kedua negara menjamin hubungan yang sangat bagus,” komentar Henner Fürtig dari GIGA-Institute yang berpusat di Hamburg, Jerman.
Menurut Deutsche Welle (Thomas Latschan: 2014), Israel melatih ahli-ahli pertanian, memasok teknologi tepat guna, serta membantu membangun dan melatih angkatan bersenjata Iran. Sebaliknya, Iran mencukupi kebutuhan minyak mentah yang sangat diperlukan oleh Israel yang tengah membangun.
Tatkala pecah Perang Irak-Iran (1980-1988), Israel dan Iran secara diam-diam menjalin kerja sama. Meski demikian, sebenarnya hubungan mereka sebelumnya sudah putus setelah Revolusi 1979. Israel, yang memandang rezim Saddam Hussein sebagai ancaman besar, berpihak pada Ayatollah Ruhollah Khomeini. Menurut studi yang dilakukan Institut Tel Aviv untuk Studi-studi Keamanan Nasional (INSS), Israel menyuplai senjata kepada Iran senilai 500 juta dollar AS pada tiga tahun pertama perang. Israel berusaha ”memperlemah langsung” Irak dengan mengebom reaktor nuklir Irak di Osirak tahun 1981.
Kemesraan itu pernah terjadi meski kini mereka perang kata-kata dan memanaskan dunia lagi serta membuat masyarakat dunia cemas. Sebab, konflik Israel-Iran tidak hanya bisa membakar kawasan Timur Tengah, tetapi juga dunia.
(Bersambung)