JUBA, SENIN Rakyat Sudan Selatan akan mengalami kelaparan lagi akibat perang sipil sejak empat tahun terakhir. Hampir dua pertiga populasi Sudan Selatan diperkirakan akan membutuhkan bantuan pangan tahun ini untuk mengatasi bencana kelaparan dan kekurangan gizi. Sedikitnya 5,3 juta orang atau 48 persen dari jumlah populasi saat ini berada di tahap krisis darurat mendekati bencana kelaparan.
Ini merupakan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Pemerintah Sudan Selatan, Senin (26/2). Selain 5,3 juta orang yang akan kelaparan, sekitar 1 juta orang sudah mengalami kerawanan pangan akut. Dibandingkan dengan tahun lalu, ada kenaikan 40 persen jumlah populasi yang menghadapi kerawanan pangan akut di negeri kaya minyak tersebut.
Laporan itu juga menyebutkan, sebanyak 150.000 orang di 11 wilayah Negara Bagian Jonglei, Upper Nile, Unity, dan Western Bahr el Ghazal akan terjerat bencana kelaparan tahun ini. Februari tahun lalu, PBB menyatakan status bencana kelaparan di dua distrik di Sudan Selatan. Krisis itu kemudian dinyatakan menurun pada bulan Juni .
”Tahun ini kondisi kerawanan pangan berbeda dan belum pernah terjadi sebelumnya. Perlu solusi politik supaya rakyat bisa membangun hidup mereka,” kata Ross Smith dari Program Pangan Dunia PBB (WFP).
Sejak perang sipil terjadi pada 2013 akibat bentrokan antara pasukan yang setia pada Presiden Salva Kiir dan Wakil Presiden Riek Machar, sekitar 4 juta orang terpaksa mengungsi ke wilayah lain. Ini krisis pengungsi terbesar di Afrika sejak peristiwa genosida Rwanda pada 1994. Puluhan ribu orang juga tewas akibat konflik.
Kerawanan pangan bisa terjadi karena masyarakat tidak bisa menggarap lahan pertanian. Akibat konflik, warga takut turun ke sawah atau kebunnya. Tak hanya itu, banyak lahan pertanian menganggur tak tergarap karena para pemiliknya mengungsi. Satu dari tiga penduduk Sudan Selatan terpaksa meninggalkan rumah.
Ketergantungan
Setelah mendapat bantuan kemanusiaan darurat, krisis pangan tahun lalu tertangani. Pada Juni lalu, status bencana kelaparan dicabut. ”Situasinya rawan dan bencana kelaparan bisa kembali terjadi,” kata perwakilan FAO di Sudan Selatan, Serge Tissot.
Berbagai lembaga kemanusiaan mengingatkan, jika situasi tak kunjung berubah, lebih dari 30 wilayah di Sudan Selatan dikhawatirkan akan mengalami kelaparan meski akan ada bantuan pangan dari komunitas internasional. Namun, bantuan makanan justru dikhawatirkan membuat rakyat ketergantungan.
Pemerintah Sudan Selatan khawatir negeri itu akan lumpuh karena rakyatnya hanya mengharapkan bantuan dari luar. ”Kalau hanya mengandalkan bantuan dari luar, akan tumbuh sindrom ketergantungan. Orang akan lupa dengan keterampilan pertanian yang mereka miliki karena mereka tidak bisa mengolah lahan lagi,” kata Menteri Bagian Tata Kelola Bencana dan Urusan Kemanusiaan Sudan Selatan Hussein Mar Nyot.
Salah seorang warga Ayod, Sudan Selatan, Chol Makuey, mengaku terpaksa mencari makanan dari satu rumah ke rumah yang lain demi bayinya yang baru berusia 1 tahun dan kekurangan gizi. Akibat perang sipil, Makuey tidak bisa bebas menggarap lahan pertaniannya. Untuk mendapat bahan makanan, ia harus keliling meminta makanan dari teman dan keluarga. ”Saya harus mengemis minta-minta mereka supaya mau berbagi jatah makanan mereka,” ujarnya.
Alokasi anggaran bantuan kemanusiaan PBB untuk Sudan Selatan berjumlah kurang dari 4 persen dari tahun lalu. Ini berarti ada kekurangan sekitar 1,7 miliar dollar AS.
Presiden Sudan Selatan Salva Kiir, tahun lalu, memerintahkan supaya akses untuk bantuan kemanusiaan dibuka tanpa batas. Meski sudah dibuka tanpa batas, tetap saja situasi belum berubah. Situasinya malah menjadi makin parah dengan datangnya musim kemarau. ”Pelanggaran HAM seperti memblokir akses warga sipil ke makanan oleh pemerintah dan pasukan oposisi justru memperparah kerawanan pangan,” kata Alicia Luedke, peneliti Sudan Selatan untuk kelompok pegiat HAM, Amnesty International.