Israel dan Iran tidak selalu bemusuhan. Mereka adalah sekutu strategis di sebuah kawasan dunia yang selalu berubah. Hubungan mereka mulai bermusuhan dan diungkapkan secara terbuka setelah Revolusi 1979, yang dipimpin oleh Ayatollah Rohullah Khomeini, menumbangkan pemerintahan Shan Iran, Shah Reza Pahlevi, dan melahirkan negara Republik Islam Iran.
Revolusi 1979 menjadi titik balik hubungan Israel dan Iran. Setelah revolusi, Israel kehilangan satu-satunya sekutu di kawasan yang memberikan dukungan politik dan ekonomi. Ketika hubungan masih terjalin, Israel bisa menjual teknologi mesin perangnya kepada Iran. Sebaliknya, Iran memenuhi 60 persen kebutuhan minyak Israel (Ronen A Cohen: 2008).
Iran dan Israel sebagai sekutu AS sama-sama mempromosikan nilai-nilai kapitalis sekuler Barat di Timur Tengah. Pada saat yang bersamaan, keduanya menghadang aliran pengaruh komunisme Uni Soviet. Koneksi antara Israel dan Iran lebih dalam ketimbang geopolitik; hubungan mereka ditarik sampai jauh ke belakang, masuk ke sejarah Yahudi dan Persia (Behrang Vameghi Vessali: 2010).
Akan tetapi, revolusi yang didasarkan pada sentimen anti-AS dan anti-Israel itu telah mengubah semuanya. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Rohullah Khomeini menyebut AS sebagai ”Setan Besar”, sedangkan Israel disebut sebagai ”Setan Kecil.” Meski demikian, Iran tetap memandang Israel sebagai kekuatan pengimbang Irak dan negara-negara Arab. Karena itu, hubungan kedua negara sepanjang 1980-an tetap berjalan (berkait dengan perang Irak-Iran) walaupun dalam skala kecil.
Pada awal tahun 1980, misalnya, PM Israel Menachem Begin menyetujui pengiriman roda pesawat tempur Phantom dan senjata ke Iran. Sebaliknya, Khomeini mengizinkan sejumlah besar orang Yahudi meninggalkan Iran untuk pergi ke AS ataupun Israel (Trita Parsi: 2007). Ketika Revolusi 1979 pecah, jumlah orang Yahudi di Iran berkisar 30.000-40.000 jiwa (Amnon Netzer: 1994). Pada saat yang bersamaan, Teheran tetap beretorika melawan negara Yahudi meskipun ada pertemuan rahasia antara Kolonel Zarrabi, direktur kompleks militer Iran, dan Kolonel Ben-Youssef dari Israel di Zurich.
Karena itu, cap yang ditempelkan pada Israel sebagai ancaman terhadap Dunia Arab telah mengendorkan perasaan terisolasi Iran dan meningkatkan citranya sebagai kekuatan ”perlawanan.” Perang Irak-Iran digambarkan sebagai usaha untuk membebaskan wilayah Palestina yang diduduki Israel. Itulah sebabnya muncul slogan Rah-e Karbala as Qods Migozarad, Jalan ke Jerusalem dimulai dari Karbala. Iran juga mempercepat pembentukan Hezbollah setelah Israel menyerang Lebanon pada tahun 1982.
Israel menginvasi Lebanon dalam usaha untuk mengusir Yasser Arafat dan PLO yang menggunakan negara itu sebagai markas untuk menyerang Israel. Teheran menanggapi serangan Israel dengan mengirimkan 1.500 tentaranya. Dari Baghdad, Saddam Hussein mengajak damai dengan Teheran dan bersama-sama masuk Lebanon melawan Israel. Namun, Khomeini menolak tawaran Saddam dan perang baru berakhir 1988.
Masuknya Iran ke Lebanon (1982) menjadi awal pertarungan Iran dan Israel yang disusul dengan pecahnya perang di Suriah yang berlangsung hingga kini. (Bersambung)