Juru bicara Presiden Filipina, Harry Roque, Kamis (1/3), menjelaskan, pembicaraan berlangsung antara Departemen Energi Filipina dan sebuah badan usaha milik negara (BUMN) China. Pembicaraan fokus pada upaya pemanfaatan sumber daya migas yang terkandung di Laut China Selatan.
Akan tetapi, sampai kini publik tidak mengetahui persis wilayah yang bakal dikelola bersama oleh kedua belah pihak. Dalam penjelasannya itu, Roque memang tidak memberikan detail mengenai kawasan Laut China Selatan yang sedang dibahas oleh Filipina dan pihak China.
Sehari sebelumnya, saat berkunjung ke Marawi, di Pulau Mindanao, Filipina selatan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan, kerja sama antara Filipina dan BUMN China tak ubahnya sebuah bentuk ”kepemilikan bersama”. ”Tawaran mereka (Beijing) sekarang adalah eksplorasi bersama yang mirip sebuah kepemilikan bersama. Kami berdua akan sama-sama menjadi pemiliknya,” kata Duterte.
Menurut Duterte, model kerja sama seperti itu lebih baik ketimbang ”mengorbankan tentara Filipina” dalam perang melawan China. ”Saya rasa hal tersebut (kerja sama eksplorasi migas) lebih baik ketimbang bertempur,” ungkapnya.
Kabar mengenai negosiasi sumber daya migas di Laut China Selatan antara Filipina dan perusahaan China muncul pertama kali pada bulan lalu. Orang yang memunculkan informasi ini adalah Menteri Luar Negeri Filipina Alan Peter Cayetano.
Saat itu, menurut Cayetano, Manila akan berkonsultasi dengan pakar hukum terkait dengan negosiasi antara Filipina dan pihak China. Tujuannya adalah memastikan bahwa berbagai kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak tidak akan melanggar hak kedaulatan Filipina.
Era Aquino
Filipina dan China sejak lama bersengketa atas kawasan perairan Laut China Selatan. Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan juga memiliki klaim atas wilayah tersebut.
Pada era Presiden Benigno Aquino, Manila bersikap keras terhadap Beijing dalam isu Laut China Selatan. Beijing dituduh telah melanggar batas, menduduki, dan mendirikan bangunan di wilayah karang yang diklaim Manila sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusifnya.
Pada tahun 2016, Aquino memenangi sidang pengadilan arbitrase internasional yang mematahkan klaim Beijing di Laut China Selatan. Berbeda dengan Aquino, Duterte lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan China. Ia berusaha menarik investasi dari negara itu. Perdagangan dengan China juga berusaha untuk ditingkatkannya.
Berbagai usulan kerja sama antara Manila dan Beijing yang digagas oleh Duterte menimbulkan kecemasan di antara negara-negara tetangga Filipina.
China mengklaim hampir seluruh perairan Laut China Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya. Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan utama di dunia. Selain itu, di perairan tersebut diperkirakan terkandung cadangan minyak bumi dan gas alam dalam jumlah yang besar.
Tidak dengan negara
Dalam jumpa pers, kemarin, Roque juga mengingatkan bahwa apa pun potensi kerja sama Manila-Beijing akan disepakati oleh Filipina dengan perusahaan China, bukan dengan negara China. ”Kami mungkin akan menjalin kerja sama dengan perusahaan yang dimiliki China, bukan dengan negara China itu sendiri,” paparnya.
Menurut Roque, kedua belah pihak tidak sedang menuju kesepakatan eksplorasi yang terkait dengan kedaulatan. ”Jika terwujud, kesepakatan itu terjadi di antara dua entitas korporasi,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa eksplorasi bersama merupakan solusi praktis bagi Filipina. Dengan cara tersebut, Manila dapat mengakses sumber daya alam tanpa harus berkonflik terkait kedaulatan.
Filipina menangguhkan eksplorasi di Reed Bank (kawasan karang di Laut China Selatan) pada 2014 untuk mengajukan tuntutan hukum atas klaim teritorial oleh China. Dalam putusan 2016, mahkamah arbitrase internasional menyatakan bahwa ladang gas dan minyak lepas pantai, termasuk Reed bank, berada dalam 200 mil zona ekonomi eksklusif Filipina.
Pada 2003-2008, Filipina, perusahaan China CNOOC, dan BUMN PetroVietnam melakukan survei gabungan di Reed Bank. (reuters/afp/ATO)