Rivalitas Berbahaya
Sebenarnya, Iran dan Israel bukanlah saingan alamiah. Kedua negara tidak bersengketa teritorial dan secara ekonomi tidak berkompetisi. Akan tetapi, Revolusi 1979 telah menciptakan keduanya bersaingan untuk kepentingan kebijakan luar negeri dan politik rezim Iran yang berkuasa.
Permusuhan Iran terhadap Israel dimotivasi oleh ideologi: Israel adalah suri teladan sempurna dari ”imperialisme” yang sama, yang telah menundukkan bangsa Iran di bawah Shah Iran. Rezim yang akhirnya ditumbangkan Revolusi 1979. Sikap permusuhan seperti ini juga berguna secara geopolitik, yakni meningkatkan citra Iran di antara negara-negara Arab (meski Iran selalu menyatakan bukan bangsa Arab) dan sekaligus menggerogoti legitimasi rezim-rezim konservatif Arab (Dalia Dassar Kaye, Alireza Nader, Parisa Roshan: 2011).
Menurut laporan RAND (2011), Israel dipandang oleh Iran sebagai pesaing regional utama. Pandangan seperti itu muncul setelah meninggalnya Khomeini (1989) dan berlanjut hingga awal tahun 2000-an. Ada dua faktor yang mendorong lahirnya pandangan semacam itu. Pertama, setelah pasukan koalisi pimpinan AS berhasil menumbangkan Presiden Irak Saddam Hussein tidak ada lagi ancaman terhadap Iran. Kedua, tercapainya Kesepakatan Perdamaian Oslo. Sejak itu, Iran menggunakan kelompok proksi, misalnya Hezbollah di Lebanon selatan. Dan perang Suriah memberikan jalan lebih lebar bagi Iran untuk memperluas pengaruhnya sekaligus ancaman terhadap Israel.
Israel pun merasakan ancaman itu. Pertama, kelompok Hezbollah di Lebanon selatan yang dipersenjatai, dilatih, dan dibiayai dari Teheran. Kedua, Hamas di Jalur Gaza yang juga mendapat dukungan Iran. Ketiga, aliansi Iran dengan Suriah, terlebih sejak pecah perang di Suriah. Keempat, proyek senjata nuklir Iran (meski telah dihentikan pada tahun 2015) dan kemampuan rudal balistik yang dimiliki Iran (Gerald M Steinberg: 2009).
Meski demikian, masih tersisa pertanyaan, apakah Iran benar-benar melawan Israel? Tidak jelas. Dari sudut pandang Israel, memang, perang Suriah yang menjadi sebab penempatan pasukan Iran di Suriah—1.000 personel dari Garda Revolusioner—dan sekitar 7.000 tentara Hezbollah serta 10.000 anggota milisi Shiah (George Friedman: 2017) menjadi masalah strategis bagi Israel. Ini sebuah kondisi yang tidak pernah dihadapi sejak Perang 1973, yakni perang antara Israel dan Mesir serta Suriah yang juga dikenal sebagai Perang Yom Kippur atau Perang Oktober.
Suriah adalah vital bagi kepentingan strategis Iran di Timur Tengah dan telah lama menjadi sekutu dekatnya. Rezim Bashar al-Assad telah memberikan akses kepada proksi-proksi Irak, termasuk Hezbollah di Lebanon selatan, Hamas, serta kelompok Jihad Islam Palestina. Suriah juga memberikan keleluasaan kepada Iran untuk mengirimkan, baik orang, senjata, maupun uang, kepada kelompok-kelompok itu. Yang tidak kalah penting, Suriah menjadi mitra strategis Iran dalam menghalangi Israel untuk menyerang proksi-proksi Iran. Strategi Iran adalah mempertahankan agar Presiden Bashar al-Assad tetap berkuasa selama mungkin sambil menyiapkan kondisi untuk menjamin kemampuan Iran menggunakan wilayah Suriah dan aset untuk mengamankan kepentingan regionalnya setelah Assad jatuh (Will Fulton, Joseph Holliday, dan Sam Wyer: 2013).
Bagaimana kelanjutan retorika permusuhan di antara keduanya? Tentu tidak seorang pun berharap bahwa perang benarbenar terjadi di antara mereka. Kecuali mereka yang sudah kehilangan akal sehat. Sebab, perang akan selalu menelan korban jiwa, membuat orang sengsara. Iran dan Israel sama-sama sudah pernah mengalaminya. Dan kalau mereka nekat merealisasikan retorika permusuhan mereka menjadi perang yang nyata, hanya penderitaan rakyat saja hasilnya. Apalagi kedua negara sama-sama memiliki senjata nuklir dan rudal balistik. (Bersambung).