Merangkul Taliban, Meretas Jalan Damai di Afghanistan
Pemerintah Afghanistan melalui tawaran damai yang disodorkan Presiden Ashraf Ghani kepada Taliban dalam Konferensi Proses Kabul II merupakan pengakuan bahwa tidak ada keamanan dan perdamaian di negara itu tanpa Taliban. Dengan kata lain, Pemerintah Afghanistan semakin mengakui kekuatan Taliban dan sekaligus mengakui tidak mampu mengalahkan gerakan yang pernah berkuasa di Afghanistan sejak 1996 hingga 2001.
Taliban memang luar biasa di Afghanistan. Mereka digebuk habis-habisan oleh Amerika Serikat (AS) sejak 2001. Namun, bukannya punah, mereka justru semakin kuat. Pemimpin Taliban yang baru, Mullah Haibatullah Akhundzada, disebut mampu kembali membangun kekuatan Taliban setelah meninggalnya pendiri dan pemimpin Taliban, Mullah Omar, pada 2015.
Sebaliknya Pemerintah Afghanistan semakin kewalahan menghadapi Taliban sejak mundurnya pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dari negara itu pada 2014. Pemerintah Afghanistan kini disebut hanya menguasai 52 persen wilayah negaranya. Padahal, pada tahun 2015 pemerintah Kabul menguasai 72 persen wilayah Afghanistan.
Bahkan, banyak wilayah yang dikontrol pemerintah Kabul saat ini terkepung oleh Taliban. Disinyalir, pemerintah Kabul terakhir ini kehilangan hampir 500 tentara setiap pekan dalam pertempuran dengan Taliban. Laporan Pemerintah AS tahun 2017 menyebutkan, kerugian pasukan Pemerintah Afghanistan pada 2016 bertambah 35 persen dibandingkan dengan 2015.
Inilah yang menjadi dilema bagi pemerintah Kabul saat ini dan akhirnya terpaksa menempuh jalan pragmatis dengan mengajak damai Taliban.
Perang segitiga
Pemerintah Afghanistan sebenarnya sudah mulai merasa butuh Taliban dan bahkan merasa pula ada titik temu kepentingan dengan gerakan tersebut, ketika mulai muncul kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Afghanistan pada 2014.
NIIS saat itu sempat mengambil alih kekuasaan di sejumlah wilayah di Afghanistan timur dan timur laut dari Taliban. Berkembangnya NIIS cukup cepat di Afghanistan saat itu tidak terlepas dari pertumbuhan cepat NIIS di Irak dan Suriah tahun 2014 dan 2015 melalui kontrol mereka atas wilayah luas di dua negara Arab itu.
Perkembangan NIIS yang cukup cepat di Afghanistan tersebut memicu kecemasan Pemerintah Afghanistan dan masyarakat internasional, termasuk AS dan Rusia. Semakin kuatnya NIIS di Afghanistan bisa berdampak efek domino, yakni memperkuat berkembangnya jaringan Islam radikal di Asia Tengah dan bahkan Rusia. NIIS adalah gerakan Islam radikal internasional, berbeda dengan ideologi Taliban yang hanya berupa gerakan Islam konservatif lokal.
Karena itu, Pemerintah Afghanistan dan masyarakat internasional, khususnya AS, saat itu menyerukan kepada segenap kubu oposisi, termasuk Taliban, agar berdamai dengan pemerintah Kabul guna menghadapi NIIS. Rusia dan Iran juga berusaha mendekati Taliban dalam menghadapi bahaya NIIS itu.
Namun, Taliban saat itu menolak seruan AS dan Pemerintah Afghanistan. Taliban juga menolak kerja sama dengan Rusia dan Iran. Taliban sering menegaskan, mereka hanya mau berunding langsung dengan AS, bukan dengan pemerintah Kabul.
Taliban tidak pernah mengakui pemerintah Kabul sejak era Presiden Hamid Karzai pada tahun 2001 hingga era Presiden Ashraf Ghani pada tahun 2018. Sikap keras Taliban terhadap pemerintah Kabul itu menjadi kendala utama terwujudnya perdamaian di Afghanistan saat ini.
Maka, terjadi perang segitiga di negeri itu antara Pemerintah Afghanistan, Taliban, dan NIIS selama tahun 2015 hingga 2017. Kekuatan NIIS di Afghanistan mulai meredup pada paruh kedua tahun 2017 hingga saat ini, seiring dengan semakin terdesaknya NIIS di Irak dan Suriah.
Situasi ini dijadikan peluang oleh Presiden Ashraf Ghani untuk berusaha lagi mengajak Taliban berdamai. Maka, bisa disebut, seruan Ghani kepada Taliban melalui mimbar forum Konferensi Proses Kabul II agar membuka perundingan damai merupakan kelanjutan dari upaya damai dengan Taliban sejak tahun 2015.
Ghani meyakini, jika berhasil menggandeng Taliban, hampir semua persoalan di Afghanistan bisa selesai, dan negara itu kemudian bisa fokus menghadapi tantangan regional dan internasional.
Momentum strategis
Visi Ghani dan pemerintah Kabul saat ini, yaitu Afghanistan bisa segera mengambil momentum megaproyek jalan sutra baru yang membentang dari China ke Eropa dengan melintas Asia Tengah dan Selatan, hasil gagasan China sejak tahun 2013.
Megaproyek jalan sutra baru adalah proposal strategis jangka panjang yang bertujuan mengintegrasikan potensi ekonomi kawasan Pasifik, Samudra Hindia, dan Atlantik melalui sambungan jalan darat dan laut. Megaproyek jalan sutra baru tersebut akan melalui dan sekaligus menghimpun 60 negara yang memiliki dua pertiga penduduk dunia dan 75 persen cadangan energi dunia.
Afghanistan masuk dalam peta jalan sutra baru tersebut dan berpotensi menjadi perlintasan jalan sutra baru. Negara itu terletak di persimpangan antara China dan Asia Selatan serta antara China dan Asia Barat (Timur Tengah).
Jika tidak ada perdamaian di Afghanistan, negara itu akan menjadi negara yang terisolasi dan ditinggal oleh kereta zaman yang sangat cepat, termasuk kereta jalan sutra baru ataupun megaproyek lainnya.