Ibu Kota yang Berpindah Dibangun dari Nol
Kalau benar-benar sesuai dengan rancangan, Amaravati akan menjadi kota baru yang ideal bagi pejalan kaki dan pencinta sepeda. Pemerintah menjanjikan membangun jalur khusus untuk membangkitkan semangat hidup sehat dan menjaga lingkungan. Pemerintah setempat sudah mengantisipasi pertambahan penduduk yang berlipat di kota itu, dari sekarang hanya ditempati sekitar 100.000 jiwa, pada tahun 2050 akan membengkak menjadi 3,5 juta penduduk.
Namun, sampai rencana pembangunan disetujui pada Juli 2015, masih ada ganjalan yang harus dihadapi pemerintah terkait dengan pembebasan sebagian tanah. Sekitar 12.500 hektar tanah yang akan digunakan merupakan tanah milik 26.000 petani. Tawar-menawar masih berlangsung, antara lain dengan menjanjikan pemberian uang pensiun selama 10 tahun, bebas uang sekolah, dan kesehatan.
Sebagian petani masih keberatan dan terus melakukan protes. ”Terburu-buru mencari ibu kota di wilayah yang pertaniannya subur, pemerintah telah menyebabkan kerusakan ekonomi yang tak bisa diperbaiki,” kata seorang aktivis yang menentang proyek tersebut.
Membangun kota baru memang tak mungkin sekejap jadi. Pemerintah Amaravati merencanakan penyelesaian dalam tiga tahap sampai tahun 2050.
Bukan hanya bangunan
Amaravati hanya salah satu dari sekian ibu kota yang dibangun dari nol. Brasilia, yang kini menjadi ibu kota Brasil, bisa dikatakan sebagai ibu kota dengan perencanaan yang sangat serius. Saat dibangun tahun 1960, situasi Brasilia berbalikan dengan ibu kota lama, Rio de Janeiro, yang berada di dekat pantai yang sangat terkenal.
Brasilia boleh dikata tidak memiliki apa-apa. Tidak ada peninggalan kolonial, tidak ada gedung- gedung berarsitektur klasik, dan juga tidak ada rumah-rumah kumuh. Presiden Brasil ketika itu memercayakan pembangunannya kepada arsitek kenamaan Oscar Niemeyer. Belakangan, pada 1987, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UENSCO) menobatkan kota ini sebagai situs warisan dunia.
Namun, di sisi lain, Brasilia dikritik sebagai ibu kota dengan sistem transportasi publik yang buruk serta tak memperhatikan ruang publik. ”Saya tidak mendesain tata ruang Brasilia. Saya hanya membuat arsitekturnya, dan ini merupakan tempat di mana bangunan-bangunan sangat berarti,” kata Niemeyer dalam wawancara dengan BBC.
Sementara ahli perkotaan menganggap Brasilia bukan kota. ”Masalahnya bukan kota bagus atau jelek. Ini bukan kota. Brasilia tidak mempunyai unsur sebuah kota: jalan-jalan yang berantakan, warga yang tinggal di ruko, dan perkantoran yang berdekatan,” kata Profesor Ricky Burdett dari London School of Economics. ”Kota ini tidak mempunyai kompleksitas layaknya kota pada umumnya. Mirip kampus kantor untuk pemerintah.”
Barangkali Canberra di Australia juga menggambarkan hal serupa. Ibu kota yang dibangun tahun 1913 ini mempunyai standar hidup tinggi. Namun, tulis Thomson Reuters Foundation, kota ini kurang dikenal di dunia. Bahkan, kota itu kurang diminati oleh orang Australia sendiri.
Bagi pelancong, Canberra bahkan terasa membosankan, hambar, dan kurang dinamis sebagai sebuah kota.
Ibu kota baru juga tak menjamin menjadi magnet bagi warga. Hal ini terjadi pada Naypyidaw, ibu kota Myanmar, yang menggantikan Yangon. Kota itu bahkan mendapat julukan ”Kota Hantu” karena jalan-jalan yang lebar dan selalu sepi. Besarnya wilayah yang hampir empat kali kota London dengan jumlah penduduk tak sampai satu juta ini mungkin membuat kesan sepi.
Futuristik
Membuat sebuah kota baru agaknya telah menjadi ambisi sejumlah pemimpin. Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak berupaya mempromosikan pertumbuhan kota yang hijau dengan karbon rendah. Sebuah kompleks bisnis di Songdo dibangun tahun 2009 untuk mewujudkan ambisi tersebut. Lahan seluas 600 hektar berasal dari reklamasi Laut Kuning, dekat kota Incheon.
Pemerintah Korsel tak tanggung-tanggung membangun proyek ini sampai-sampai terjadi pembengkakan biaya hingga 40 miliar dollar AS. Tak heran, Songdo disebut sebagai proyek pembangunan termahal yang pernah ada di Korsel.
Kota yang futuristik juga dikehendaki Presiden Nursultan Nazarbayev ketika dia ingin memindahkan ibu kota Kazakhstan ke Astana tahun 1997. Nazarbayev sekaligus ingin menjauhkan ibu kota baru dengan semua gaya peninggalan Uni Soviet. Namun, yang terjadi, Astana malah dijuluki ibu kota paling aneh.