Bagi Mervat Bukhari (43), ibu dengan empat anak, keputusan yang diambilnya untuk bekerja di pompa bensin tidaklah mudah. Sebagai perempuan pertama Arab Saudi yang bekerja di tempat yang sebelumnya selalu dikelola laki-laki, ia membutuhkan mental baja.
Ia dirundung di media sosial, baik oleh laki-laki maupun perempuan, karena pekerjaan itu dianggap memalukan. Tagar "perempuan Saudi tidak bekerja di pompa bensin" menjadi viral. Namun, Bukhari tetap bertahan. Ia pun membalas dengan menulis: "Saya ini supervisor. Saya tidak mengisikan bensin ke mobil. Perempuan saat ini memiliki hak bekerja."
Putera Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman, September 2017, melakukan gebrakan dengan secara perlahan membuka belenggu kebebasan perempuan Saudi. Ia, antara lain, mengizinkan perempuan mengemudikan mobil, truk dan sepeda motor, menonton bioskop dan sepak bola, juga bekerja di tempat-tempat yang selama ini didominasi pria.
Mohammed menginginkan agar sedikitnya sepertiga dari total perempuan Saudi bisa bergabung dalam angkatan kerja sampai dengan tahun 2030. Hal itu diyakini bisa membangkitkan pertumbuhan ekonomi Saudi.
Kebijakan ini disambut antusias para perempuan Saudi sehingga hampir di semua bidang kini ada "yang pertama". Seperti, perempuan pertama Saudi yang menjadi koki restoran, perempuan pertama dokter hewan, perempuan pertama pemandu wisata, dan lainnya. Untuk pertama kali pula perempuan terlihat bisa menikmati konser jaz yang juga dihadiri pria, dan berada di restoran tanpa harus dipisah dengan para pria.
Namun, kondisi di lapangan tak semulus yang dinyatakan Pangeran Mohammed. Masih banyak warga yang belum bisa menerima perubahan drastis yang tak terpikirkan sebelumnya. Menurut data yang dikeluarkan lembaga kajian Jadwa, upah minimum per bulan bagi pria Saudi 8.000 riyal (sekitar Rp 29 juta), namun perempuan hanya sekitar 5.000 riyal (Rp 18 juta).
"Perempuan Saudi lebih berpendidikan, namun mobilitasnya terbatas, tak memiliki pengalaman bekerja, dan digaji secara tidak layak," kata Karen Young, peneliti di Arab Gulf Institute di Washington, AS.
Terlepas dari kenyataan di lapangan, koran The New York Times (5/3) mencatat fenomena baru yang ditemukan pada perempuan muda Saudi: mereka ramai-ramai belajar mengemudi sebelum sampai pada hari H, Juni mendatang, saat perempuan resmi diperbolehkan mengemudikan kendaraan.
Sejumlah universitas perempuan sudah mengumumkan akan membuka kursus menyetir. Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan mobil bersiap mengubah iklan mereka untuk menarik minat kaum perempuan yang akan menjadi calon pembeli. Perusahaan Uber juga berencana merekrut dan melatih perempuan pengemudi.
Masih permukaan
Para aktivis Saudi tetap beranggapan, perubahan sosial itu hanya bersifat "di permukaan", jika tidak dibarengi dengan perubahan atas sistem perwalian yang kaku. Dengan sistem ini, seorang perempuan harus meminta izin kerabat laki-lakinya —ayah, suami, paman, saudara—untuk belajar, bepergian, dan beraktivitas. Gerak perempuan menjadi sulit ketika berhadapan dengan ayah yang sangat kaku atau pun suami yang kasar.
Sejumlah laporan menunjukkan, banyak perempuan narapidana yang sudah dibebaskan tidak bisa keluar dari penjara karena tak ada wali yang mau mengklaim keberadaan dirinya. Kepada kantor berita AFP, seorang perempuan mengaku tak bisa memperbarui paspornya ketika sang ayah, satu-satunya wali dirinya, berada dalam keadaan koma karena kecelakaan.
"Kalau saya harus memilih antara hak mengemudi atau mengakhiri sistem perwalian, saya memilih terakhir," kata dia.
Otoritas Saudi menyebutkan bahwa kebebasan itu akan perlahan-lahan dibuka. Disebutkan, perempuan kini tak perlu lagi meminta izin suami untuk memulai bisnis.
Pemerintah juga telah mencabut pasal "kepatuhan" dalam hukum perceraian. Ketika isteri mengajukan cerai kepada hakim, berdasarkan hukum yang lama suami berhak untuk memaksa isteri kembali dan pulang ke rumah, meskipun itu di luar kemauan sang istri. Dengan kebijakan baru ini, konsep yang dikedepankan adalah "persetujuan bersama".
"Ini ritus baru perjalanan perempuan Saudi. Ini evolusi, bukan revolusi," kata Hoda al-Helaissi, penasihat di Dewan Syura. (AFP)