Geregetan dengan kasuskasus penembakan yang terus terjadi, veteran Korps Marinir Amerika Serikat, Dave Baril (42), menyerahkan senjata laras panjang AR-15 miliknya ke kantor polisi setempat. Baril, yang pernah dua kali diterjunkan ke Irak, meminta polisi menghancurkan senjatanya. Ia melakukan hal tersebut setelah terjadi penembakan massal di SMA Parkland, Florida, AS, bulan lalu, yang menewaskan 17 orang.
Tak berhenti di situ. Baril lalu mendorong pengetatan regulasi senjata api untuk mengurangi kekerasan dengan senjata api di AS. Ia juga mengajak rekan-rekan veteran militer untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai persenjataan serta peperangan.
”Penembakan yang terjadi di konser Las Vegas pada tahun lalu dan di sekolah Parkland, Florida, benar-benar menyadarkan saya,” kata Baril.
Meski geregetan, Baril tetap mendukung Amandemen Kedua Konstitusi AS yang menjamin hak kepemilikan senjata. Menurut dia, warga memang boleh memiliki senjata, tetapi bukan berarti warga bisa seenaknya memakai dan menembakkan
senjata. Jika regulasi persenjataan tidak segera diubah, Baril khawatir peristiwa penembakan akan terjadi lagi, bahkan dapat lebih parah.
Kampanye media sosial
Hal yang membuat Baril semakin khawatir adalah jenis senjata yang digunakan pelaku. Dalam dua kasus penembakan, yakni di Las Vegas dan Parkland, pelaku sama-sama menggunakan senjata laras panjang AR-15 yang mirip dengan senjata militer M4.
Bedanya, AR-15 tidak memiliki kemampuan memuntahkan banyak peluru dalam satu kali tarikan pelatuk. ”Senjata-senjata jenis itu tidak boleh dibiarkan beredar bebas,” ungkap Baril.
Setelah kasus penembakan Parkland, Baril membuat gerakan di media sosial dengan tagar #VetsForGunReform dan mengajak veteran lain untuk ikut mendukungnya. Karena banyak yang mendukung, kampanye itu meluas di media sosial.
”Suara anak-anak sekolah Parkland yang memulai gerakan reformasi senjata ini. Kami hanya memperkeras suara anak-anak tersebut,” ujar Kyleanne Hunter, veteran mantan pilot helikopter Kobra yang bertugas dalam Korps Marinir selama 12 tahun di Irak dan Afghanistan.
Hunter dan rekan-rekan veteran lainnya mau menjadi ”suara yang memperkuat penolakan” dalam perdebatan regulasi persenjataan dan menjembatani kesenjangan antara kelompok kiri dan kanan. Mereka juga memantau perdebatan kebijakan terkait persenjataan.
Pete Lucier, veteran Marinir yang pernah bertugas di Afghanistan, mengaku dulu meyakini orang yang memiliki senjata adalah orang baik karena melawan siapa pun yang hendak mencederai warga AS. Akan tetapi, sejumlah kasus penembakan telah mengubah pandangannya.
Ia sudah tidak memiliki senjata lagi, tetapi sesekali masih menembak. Pengetahuan dan pengalaman veteran dengan senjata menjadi hal penting dalam perdebatan. ”Sikap kami ini bukan berarti memusuhi orang yang punya senjata,” ujarnya. (AFP/LUK)