”Dalam penilaian presiden, kini saatnya berbicara dengan Jong Un,” kata Tillerson, Jumat (9/3). Ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan perbincangan dan perundingan.
Pernyataan keinginan Trump bertemu Jong Un menjadi kabar mengejutkan di AS. Untuk menjelaskan latar belakang keputusan Trump, Tillerson mengatakan, kemungkinan itu karena Trump melihat ada perubahan sikap dari Korut. Ini dilihat dari partisipasi Korut di Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan. ”Perubahan sikap mereka juga membuat kami kaget,” ujarnya.
Namun, Trump akhirnya bulat tekad setelah Kepala Keamanan Nasional Korea Selatan Chung Eui-yong bertemu Trump. Chung baru-baru ini ke Korut bertemu Jong Un. Dalam pertemuan itu, kata Chung, Jong Un terlihat sangat ingin bertemu Trump sesegera mungkin. Kabar yang paling mengejutkan dari pertemuan itu adalah janji Jong Un pada Presiden Korsel Moon Jae-in bahwa Korsel tak perlu khawatir lagi dengan rudal-rudal Korut di pagi hari. Tahun lalu, Korut menguji peluncuran 20 rudal balistik, sebagian besar ditembakkan dini hari atau pagi hari. Ini yang kemudian dijanjikan Korut tidak akan terjadi lagi.
”Saya memutuskan, Presiden Moon tidak perlu terganggu lagi tidurnya di pagi hari,” kata Jong Un yang kemudian diceritakan pejabat di kantor kepresidenan Korsel.
Dalam pertemuan Korsel dan Korut yang berlangsung selama empat jam, Jong Un disebutkan mau hadir dalam pertemuan dengan Moon pada April mendatang. Bahkan, ia juga menawarkan pembahasan perlucutan senjata dalam pertemuan kedua negara tetangga itu. Selama proses dialog Korsel-Korut, Jong Un juga berjanji tak akan ada uji rudal atau nuklir. Ia juga ingin bertemu Trump dalam waktu dekat.
”Jika ada yang tidak beres dengan pembicaraan di tingkat para pejabat atau ada yang bersikap arogan, Moon dan saya sekarang sudah bisa bicara langsung melalui telepon dan menyelesaikan masalahnya,” kata Jong Un.
Meski Korut berjanji mau mulai membicarakan perlucutan senjata, AS mengingatkan sanksi terhadap Korut akan tetap berlaku. Komunitas internasional juga diminta untuk tetap menekan Korut. Ajakan untuk bicara dengan Korut itu berisiko tinggi bagi Trump. Dari pengalaman pada masa Kim Jong Il, ia juga pernah berjanji melucuti senjata, tetapi ternyata itu akal-akalan Jong Il untuk mengulur waktu, mengurangi sanksi, dan memisahkan Korsel dari semua negara sekutunya.
Meski demikian, Trump paling tidak akan membuat sejarah baru. Jika pertemuan itu betul-betul terlaksana, ia akan menjadi seperti Richard Nixon yang mencatat sejarah dengan datang berkunjung ke China atau seperti Barack Obama membuka diri pada Kuba. Keduanya juga memiliki keinginan yang sama, yakni menjalin hubungan lebih baik.
Korut menang
Pengamat menilai pertemuan AS-Korut sebenarnya sudah menunjukkan posisi Korut yang menang. ”Status Jong Un menjadi setara dengan Trump. Ini membuat Korut makin kuat tekadnya untuk minta diakui secara de facto bahwa mereka negara yang memiliki kekuatan nuklir,” kata Evan Medeiros dari lembaga kajian Eurasia Group dan mantan penasihat kawasan Asia untuk Barack Obama.
Selain itu, pertemuan tersebut tidak lantas bisa membuat Korut melucuti senjata dan rudalnya. Jeffrey Lewis, Direktur Program Nonproliferasi Asia Timur Institut Studi Strategi Middlebury, menilai, Trump justru mengikuti permainan Jong Un. Pemimpin Korut itu tidak mengundang Trump agar ia bisa menyerahkan senjata, tetapi hanya untuk menunjukkan ia berhasil memaksa AS memperlakukan Korut sebagai pihak yang setara.
Dengan pertemuan itu, Korut juga dikhawatirkan sekadar ingin memperoleh legitimasi internasional bahwa negara sebesar dan sekuat AS mau bertemu dengan Korut.