Efek Domino bagi Indonesia dan Cara Mengantisipasinya
Neil Irwin, koresponden ekonomi senior harian The New York Times (NYT), menyebut kebijakan Amerika Serikat menaikkan bea masuk baja dan aluminium sebagai trade skirmish. Langkah Presiden AS Donald Trump merupakan sebuah strategi dagang untuk melindungi kepentingan ekonomi domestik AS.
Skirmish adalah salah satu bentuk simulasi perang dalam airsoft games. Simulasi itu tergolong ekstrem, tetapi tetap ada aturan main yang membutuhkan strategi jitu untuk memenanginya. Namun, jika salah strategi atau bertindak di luar aturan, permainan itu tidak mungkin dimenangi.
Trump mengambil kebijakan itu berdasarkan data dan dokumen yang ada. Dengan China, misalnya, pada 2017 neraca perdagangan barang AS defisit 375,2 miliar dollar AS. Namun, strategi itu sangat riskan. Secara eksternal akan memicu perang dagang.
Secara internal, konsumen baja dan aluminium, baik perorangan maupun korporasi, akan membeli kedua produk itu dengan harga tinggi. AS membutuhkan baja dan aluminium untuk memproduksi mobil, kereta, dan pesawat terbang. AS juga butuh produk turunan baja untuk membangun infrastruktur dan pipanisasi minyak.
NYT juga menyebutkan, AS pernah melancarkan perang dagang terbesar melalui Smoot-Hawley Tariff Act pada 1930. Senator Reed Smoot dan anggota DPR Willis C Hawley memberlakukan kenaikan tarif sekitar 20.000 barang impor. Kanada, diikuti dengan sejumlah negara mitra dagang AS, membalasnya dengan menaikkan bea masuk produk impor dari AS. Hasilnya, ekspor AS merosot 61 persen pada 1930-1933. Pada 1934, AS mencabut kebijakan itu.
Pengajar hukum perdagangan internasional Institute Brookings di Universitas Johns Hopkins, Joshua Melttzer, menyatakan, ”Smoot-Hawley merupakan bencana yang dilantunkan atas kebijakan perdagangan AS selama lebih dari 80 tahun. Tak ada yang mau mengulanginya.”
Meski tidak seekstrem Moot-Hawley, Trump telah memulai dan memicu perang dagang itu. Efek dominonya mulai terasa, terutama di sektor migas dan pasar saham. Nilai saham-saham besar di AS, Asia, dan Eropa turun sekitar 1 persen. Harga minyak mentah dunia juga turun 0,5-2 persen. Jika penurunan harga minyak mentah dunia berlanjut, harga komoditas ekspor unggulan Indonesia, yakni minyak kelapa sawit mentah (CPO), akan terpengaruh.
Kecaman sejumlah negara mitra dagang AS juga bermunculan. Komisioner Perdagangan Uni Eropa (UE) Cecilia Malmstrom mengatakan, UE tengah mengkaji daftar produk-produk AS yang akan dinaikkan tarifnya, seperti olahan baja, pakaian, sepeda motor, perahu motor, mesin fotokopi, olahan hasil pertanian, dan selai kacang.
Apabila perang dagang terjadi, pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan terkoreksi turun. Hal itu akan berpengaruh juga terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Apalagi, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-16 daftar negara-negara yang menyebabkan neraca perdagangan AS defisit.
Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai perdagangan Indonesia-AS pada 2017 sebesar 25,91 miliar dollar AS. Nilai tersebut naik 10,53 persen dibandingkan dengan 2016 yang sebesar 23,44 miliar dollar AS. Dari total itu, surplus untuk Indonesia 9,66 miliar dollar AS.
Asia bakal tertahan
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, korban paling signifikan perang dagang adalah negara-negara Asia. Mereka adalah negara-negara berkembang yang sangat mengandalkan perdagangan internasional.
Selama beberapa tahun terakhir ini, Asia merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dunia dan jelas akan tertahan akibat perang tarif ini. ”Setidaknya akan ada koreksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5-0,8 dari yang diproyeksikan Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 3,9 persen pada tahun ini,” kata Fithra.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, yang perlu dicermati transmisi perang dagang ke sektor ekonomi negara-negara berkembang. Secara tak langsung, perang dagang bisa memengaruhi volume ekspor komoditas energi batubara dan minyak mentah ke negara-negara penghasil baja dan aluminium.
Ekspor energi, khususnya batubara, ke China diprediksi akan terganggu. Apalagi, ekonomi China ditargetkan hanya tumbuh 6,5 persen tahun ini atau lebih rendah dari realisasi 2017 sebesar 6,8 persen.
”Perubahan permintaan industri China akan memengaruhi nilai ekspor produk migas dan nonmigas Indonesia. Harga komoditas energi batubara dan minyak mentah diprediksi menurun jika pasokan berlimpah dan permintaan terkontraksi,” ujarnya.
Penurunan pertumbuhan ekonomi global serta ekspor sejumlah komoditas dan energi akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Hal itu juga akan berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ekonomi nasional. Fithra memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini akan terkontraksi minimal 0,1-0,2 persen.
Kedua ekonom itu berharap sejumlah langkah antisipasi perlu dilakukan Indonesia. Misalnya, meningkatkan serapan baja dalam negeri untuk proyek-proyek infrastruktur. Indonesia perlu memperkuat relasi bilateral dan multilateral berbasis regional. Indonesia juga perlu melanjutkan perluasan pasar bagi produk yang tak terkena langsung dampak perang dagang. (HENDRIYO WIDI)