Ilena, Desa Penderita Kusta yang Terkucil di Madagaskar
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·3 menit baca
Tak pernah terbayang oleh Joseph Ralaiharo (65) bahwa ia harus hidup terpencil di Desa Ilena, Madagaskar, lebih dari setengah abad. Ini karena penyakit kusta yang ia derita. Infeksi yang menyebabkan luka-luka di kulit tubuhnya, kerusakan saraf, masalah mata, dan pernafasan, membuatnya tersingkir dari masyarakat,
"Saya tidak bisa pulang lagi ke rumah saya, karena tidak ada orang yang mau melihat saya," kata Ralaiharo. "Kami tidak bisa lagi pergi ke sumur untuk mengambil air atau ke ladang, bahkan tanah kami sendiri telah dijual oleh saudara kami."
Meski akhirnya berhasil melawan infeksi kusta dan sembuh, Ralaiharo tetap harus tinggal di Ilena. Ia telanjur dicap sebagai penderita kusta seumur hidup.
Penyakit kusta ditemukan pertama kali pada abad pertama, dan hampir hilang dari Eropa abad ke-18. Kusta menyebar kebanyakan di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan.
Menurut data terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 200.000 kasus kusta diidentifikasi setiap tahun. Infeksi kusta menyebar melalui cairan hidung, tidak terlalu menular, dan dapat diobati selama beberapa bulan.
Tak bisa keluar
Ralaiharo datang ke Ilena bersama ibunya saat baru berusia 13 tahun setelah terinfeksi kusta. Sejak itu ia belum pernah meninggalkan desa itu.
Ilena terletak di puncak sebuah bukit kecil, dikelilingi oleh pepohonan. Kota terdekat adalah Fianarantsoa, sekitar 411 kilometer selatan Antanarivo, ibu kota Madagaskar. Tempat perawatan penyakit kusta di Ilena dibangun pada tahun 1892.
Desa Ilena sekarang menjadi rumah bagi 400 penderita kusta, termasuk 100 anak. Semuanya berbaur dan tinggal bersama sebagai sebuah komunitas. Namun, mereka benar-benar terisolasi dari masyarakat lain. Mereka bertahan hidup dengan bercocok tanam dan beternak, serta menghasilkan arang.
Tak ada seorang pun penderita kusta di Ilena yang pernah pergi meninggalkan desa itu, kecuali karena meninggal dunia. "Desa ini telah terisolasi. Tidak ada yang datang atau pergi dari sini," kata Suster Damien Koenig, biarawati yang mengelola tempat perawatan kusta di Ilena selama beberapa dekade.
"Saat tiba di sini, kami mencoba menjelaskan, kusta bukanlah kondisi yang memalukan, dan mereka yang terinfeksi tak perlu merasa malu dan bisa keluar," kata Koenig. "Namun, tak ada satupun laki- laki atau perempuan muda di Ilena bisa mendapat pasangan dari luar."
Di kalangan warga Madagaskar, ada kebanggaan pada tradisi dukungan masyarakat, solidaritas dan kesetiaan, yang diistilahkan dalam bahasa setempat sebagai "fihavanana". Namun, penderita kusta dikecualikan dalam tradisi itu. Mereka mengalami diskriminasi yang kuat.
Di Marana, desa penderita kusta dekat dengan Desa Ilena, perlakuan warga luar menggambarkan prasangka yang harus dipikul penderita kusta seumur hidup. Para penderita kusta sudah tiga direlokasi karena warga lain tak mau tinggal bersama mereka. Sebanyak 80 penderita Kusta di Marana kini harus tinggal tersembunyi di balik kerimbunan pepohonan.
Dikucilkan masyarakat adalah hal menyedihkan yang dialami penderita kusta. Namun, yang lebih membuat kesal adalah keluarga mereka juga ikut-ikutan menjaga jarak.
Kombinasi kemiskinan dan terbatasnya akses pada perawatan kesehatan adalah penyebab kusta terus merebak di Madagaskar. Negara ini masuk tiga negara Afrika terburuk dalam menangani infeksi baru kusta.
"Ada sekitar 1.500 kasus kusta baru setiap tahun di Madagaskar," kata Andriamirana Andrianatoandro, Kepala Program Anti-kusta Kementerian Kesehatan Madagaskar. Ia menyesalkan "pengucilan" harus dihadapi oleh penderita kusta. (AFP)