Menakar Respons Beijing atas Keputusan Washington
Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah membuka kotak pandora dengan memberlakukan tarif impor atas baja dan alumunium. Di tengah respons-respons bernada negatif dan keras mitra-mitra dagang Washington, mulai dari Uni Eropa, Canada, Meksiko, hingga Jepang dan Korea Selatan, publik dan pasar global menanti lebih lanjut reaksi dan langkah China. Reaksi Beijing secara riil akan menjadi penanda jadi tidaknya dan seberapa besar perang dagang itu akan terjadi.
Penerapan tarif atas baja dan aluminium menegaskan dimulainya sikap agresif Washington untuk mengukur kinerja perdagangan sekaligus upaya perlindungan atas industri AS. Ukurannya jelas, apakah dari praktik-praktik perdagangan dan perjanjian yang ada dianggap merugikan AS atau tidak. Hal itu dapat diperdebatkan mengingat dari sisi mitra dagang AS mereka memenangi persaingan atas Washington.
China dapat saja membalas langkah AS itu dengan memberlakukan tarif tinggi bagi produk-produk utama AS, mulai dari kedelai hingga pesawat terbang. Beijing juga bisa menerbitkan aturan yang sifatnya menekan pabrikan-pabrikan utama AS yang memiliki pasar global, semacam Apple dan Intel.
Namun, Wakil Menteri Luar Negeri sekaligus juru bicara Parlemen China, Zhang Yesui, secara diplomatis menyatakan China enggan berperang dagang dengan AS. Hanya saja ia memperingatkan kebijakan yang dibuat dengan penilaian tidak tepat akan mengganggu hubungan kedua negara dan membawa dampak yang tidak diinginkan siapa pun.
”Jika tindakan AS mengancam kepentingan China, China tidak akan tinggal diam,” kata Zhang, awal pekan ini, di Beijing.
Sebagaimana diwartakan CNN, sikap langsung dan keras tidak serta-merta dipertunjukkan Beijing. Sebagai negara eksportir terbesar sejagat, China mungkin saja memilih sikap diam-diam, berstrategi menghindari perang dagang. Hal itu dinilai bertujuan memperkuat posisi dan statusnya sebagai penjaga sistem perdagangan global.
”China tidak akan memperlihatkan peningkatan eskalasi dan memilih untuk mengatur hubungannya (dengan AS),” kata Aidan Yao, ekonom senior di AXA Investment Manager.
Nilai ekspor baja dan aluminium China pada tahun lalu mencapai 4 miliar dollar AS. Dilihat dari nilainya, angka itu relatif kecil dibandingkan dengan total ekspor kedua produk itu secara global. Dengan kata lain, dari sisi perdagangan dan efek nilainya, Beijing tidak terlalu terimbas.
Waspada
Satu hal yang diwaspadai Beijing dan mungkin dikhawatirkan mitra-mitra dagang AS dan China adalah kebijakan-kebijakan Trump selanjutnya. Kebijakan-kebijakan perdagangan yang lebih besar sekaligus lebih langsung. Penerapan tarif atas impor baja dan aluminium adalah salah satu indikasi paling kuat dari gelagat atau cara Trump mengambil sikap.
Dua pekan lalu, misalnya, Trump menegaskan dirinya dan AS mementingkan dan lebih suka mempraktikkan perjanjianperjanjian dagang satu lawan satu alias antarnegara.
Wajah Perdana Menteri Australia Malcom Turnbull tampak kecut ketika menyampaikan pernyataan pers bersama Trump seusai menggelar pertemuan diplomatik dalam kunjungannya ke Washington kala itu. Padahal, menjelang pertemuan khusus pertama ASEAN-Australia, pertengahan bulan ini, Canberra ingin memastikan sikap sekaligus kesediaan Trump dan AS terhadap kemitraan-kemitraan perdagangan, seperti Kemitraan Trans-Pasifik yang baru (TPP 11). Nyatanya AS dan Trump tetap bergeming.
Trump bisa saja bersikap lebih keras terhadap Beijing, seperti menerapkan tarif yang lebih tinggi dan beragam terhadap aneka produk ekspor China serta lebih keras menutup diri atas investasi pengusahapengusaha China. Jika itu terjadi, menurut para analis, China, dipimpin Presiden Xi Jinping, akan membalas dengan cara lebih keras di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). China bakal bertekad menjadi penjamin perdagangan bebas di tingkat global sekaligus penegas posisi penjaga sistem perdagangan bebas itu.
Sikap itu telah ditunjukkan Beijing. Di tengah persiapan Kongres Rakyat Nasional di China, Perdana Menteri China Li Keqiang berjanji Beijing akan lebih membuka diri sekaligus ramah terhadap investor asing. Pasokan dan rantai produksi produk-produk asal negeri itu di pasar global menjadi dua hal utama yang ingin senantiasa dipastikan Beijing. Pada saat yang sama reformasi ekonomi secara internal tengah dan terus dilakukan dan dimantapkan untuk mencegah akibat-akibat buruk. Beijing diharapkan tahu dan sadar bahwa goyangnya perekonomian negeri itu bisa berakibat buruk bagi ekonomi global.
”Kami akan lebih berani dalam mereformasi diri dan lebih membuka diri,” kata Li (Kompas, 6 Maret 2018).
Menariknya Li juga menjanjikan kemajuan progresif—dalam upaya beberapa tahun terakhir negerinya—untuk mengurangi kapasitas produksi, termasuk baja, batubara dan industri-industri lainnya di mana kondisi suplai melebihi permintaan. Amerika Serikat dan Uni Eropa memprotes surplusnya produk baja dan aluminium di pasar global yang telah mengakibatkan jatuhnya harga dan mengancam lapangan kerja mereka. Menurut Li, industri baja China akan mengurangi produksi bajanya 30 juta ton dari total 800 juta ton secara tahunan.
(BENNY D KOESTANTO)