STOCKHOLM, SENIN — Kekerasan yang terus merebak di wilayah Timur Tengah telah menjadi motor industri senjata global. Dalam lima tahun terakhir, terhitung mulai tahun 2013 hingga tahun 2017, impor senjata ke kawasan itu melonjak hingga 103 persen dibandingkan dengan periode 2008-2012.
Dalam kajian Institut Riset Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) yang dirilis pada Senin (12/3) menyatakan, impor senjata yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah sebesar 32 persen dari volume impor senjata global.
Arab Saudi, yang saat ini memimpin koalisi memerangi Houthi, merupakan importir senjata kedua terbesar di dunia. Sebanyak 61 persen impor senjata yang dilakukan oleh Arab Saudi disuplai oleh Amerika Serikat (AS) dan 23 persen disuplai Inggris. Jumat pekan lalu, Inggris telah menandatangani kesepakatan awal bernilai multimiliar pound sterling dari Arab Saudi yang berencana membeli jet tempur Eurofighter Typhoon buatan BAE Systems.
SIPRI tidak merinci nilai dari impor senjata tersebut. Namun, sebagai gambaran, pada Oktober 2017, The Guardian menyebutkan, pada paruh awal tahun itu, kesepakatan penjualan senjata oleh Inggris mencapai 1,5 miliar dollar AS atau Rp 21 triliun.
Kesepakatan Inggris-Arab Saudi terkait pembelian Typhoon dan senjata lainnya memicu perdebatan sengit dan protes di Inggris. Lembaga swadaya masyarakat Save The Children meletakkan patung seukuran anak-anak di dekat parlemen Inggris untuk menarik perhatian bahwa kekerasan yang terjadi di dunia saat ini juga dipicu oleh bom-bom buatan Inggris.
”Konflik kekerasan yang meluas di Timur Tengah dan kekhawatiran terkait hak asasi manusia telah menyebabkan perdebatan politik di Eropa Barat dan Amerika Utara agar membatasi penjualan senjata,” kata peneliti senior SIPRI, Pieter Wezeman.
”Namun, negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa tetap saja menjadi eksportir senjata utama di wilayah Timur Tengah dan bahkan memasok lebih dari 98 persen senjata ke Arab Saudi,” kata Wezeman.
Permintaan India
Ketegangan di belahan lain, Asia dan Oseania juga turut memicu peningkatan penjualan senjata. Kawasan itu mengimpor 42 persen dari total impor senjata dunia.
India yang tengah berebut pengaruh dengan China dan bersengketa dengan Pakistan adalah importir senjata terbesar. Sebagian besar senjata India dipasok oleh Rusia.
Lebih dari 62 persen arsenal India, termasuk pesawat terbang, dipasok oleh Moskwa. Namun, AS turut menikmati manisnya kue itu. Dalam hitungan SIPRI, pada saat yang sama pengiriman senjata ke India dari AS meningkat lebih dari enam kali lipat. ”Ketegangan antara India dan Pakistan di satu sisi dan China di sisi lain mendorong permintaan India akan senjata-senjata besar yang masih belum dapat diproduksi sendiri,” kata peneliti SIPRI, Siemon Wezeman.
Sebaliknya, China semakin mampu memenuhi kebutuhan senjata dengan memproduksi sendiri. Bahkan, Beijing pun turut memasok senjata bagi sejumlah negara. (AFP/LOK)