Suriah, sesuai dengan keterangan Kementerian Urusan Minyak dan Sumber Alam negara itu, diperkirakan mengalami kerugian di sektor migas akibat perang sejak 2011 sebesar lebih dari 62 miliar dollar AS.
Produksi minyak Suriah sebelum perang 2011 mencapai 385.000 barrel per hari. Setelah perang, produksi itu anjlok hingga hanya 13.000 barrel per hari. Adapun produksi gas sebelum perang mencapai sekitar 23 juta meter kubik, lalu anjlok hingga sekitar 5 juta meter kubik pasca perang.
Menurut Menteri Urusan Minyak dan Sumber Alam Suriah, Ali Ghanem seperti dikutip harian Al Hayat edisi Senin (12/3), Pemerintah Damaskus kini mulai membangun kembali industri sektor migas dengan mengundang investor manca negara. Ia mengungkapkan, Suriah memiliki ambisi besar dalam industri migas, yakni tidak hanya ingin membangun kembali sektor migas, tetapi juga menjadi negara transit ekspor migas dari Iran dan Irak melalui pelabuhan di Suriah menuju Eropa dan Amerika Utara.
Ghanem menyebutkan, ambisi besar Damaskus itu muncul setelah mereka menguasai kembali sebagian besar wilayah Suriah dari tangan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan faksi oposisi lainnya mulai tahun 2017.
Rusia-Iran panen Dalam megaproyek pembangunan kembali sektor industri migas Suriah itu, dua sekutu strategis Damaskus, yakni Rusia dan Iran, mendapat tender terbesar. Rusia paling banyak mengambil manfaat dalam konflik di Suriah saat ini. Nilai investasi Rusia di Suriah saat ini disebut sudah melebihi angka 20 miliar dollar AS, yang sebagian besar terkonsentrasi di sektor migas.
Salah satu transaksi penting Rusia di Suriah, yaitu transaksi antara perusahaan migas Rusia, Soyuzneftegaz, dan Pemerintah Suriah dengan nilai awal 100 juta dollar AS yang dicapai pada 2014. Nilai transaksi itu akan bertambah sesuai dengan perkembangan proyek di lapangan.
Dari transaksi tersebut, Soyuzneftegaz mendapat hak eksplorasi migas di wilayah sekitar 2.190 kilometer persegi di Provinsi Latakia, Suriah, yakni dari kota pantai Tartous di selatan hingga kota Baniyas di utara, dan sejauh sekitar 70 kilometer dari pantai Tartous ke dalam wilayah Suriah.
Rusia dan Pemerintah Suriah juga menandatangani kesepakatan yang mengizinkan keberadaan Rusia di Suriah selama 50 tahun dan bisa diperpanjang hingga 100 tahun.
Adapun Iran, sekutu Suriah kedua, mengambil manfaat terbesar kedua dari konflik Suriah. Iran dan Suriah terakhir ini menandatangani kesepakatan investasi yang memberi hak kepada Iran membangun kilang minyak baru dekat kota Homs, Suriah tengah, dengan kapasitas produksi 140.000 barrel per hari.
Iran juga mendapat hak membangun kembali kilang minyak di kota Homs dan Baniyas yang rusak akibat perang. Iran mendapat pula hak investasi di wilayah pantai Suriah seluas 5.000 hektar untuk pembangunan pusat terminal dan penampungan migas yang berfungsi sebagai pusat transit migas sebelum dieskpor ke Eropa dan Amerika Utara.
Direncanakan akan dibangun saluran pipa bawah tanah dari Iran ke pantai Suriah melalui Irak. Iran juga menandatangani kesepakatan dengan Damaskus yang memberi hak keberadaan Iran di negara itu selama 25 tahun dan bisa diperpanjang hingga 50 tahun.
Sementara AS bersama sekutunya, Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang kini secara de facto menguasai sebagian besar Provinsi Deir El Zour, Raqqa, dan Al-Hasakah di Suriah timur dan timur laut, mengontrol pula ladang-ladang minyak di wilayah itu. Sekitar 40 persen produksi minyak Suriah berasal dari Provinsi Deir El Zour.
Sebagian besar ladang minyak Suriah berada di provinsi itu, seperti ladang minyak Al-Omar, Al-Tanak, Al-Taim, Al-Shoula, Al-Kharata, dan Deiro. Berbeda dari Rusia dan Iran yang mendapat hak dan izin resmi investasi dari Damaskus, keberadaan AS di Suriah disebut ilegal oleh Damaskus. (Dilaporkan dari Kairo, Mesir)
----------
Catatan Redaksi:
Artikel ini revisi yang diperluas dari versi sebelumnya maupun versi cetak di Harian "Kompas". Direvisi Selasa, 13 Maret 2018, pukul 14.10 WIB.