Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Norman Mattis mengatakan, beberapa pemimpin Taliban menunjukkan kesediaan berdialog. ”Mungkin tidak semua akan datang, terlalu jauh mengharapkan itu. Akan tetapi, amat jelas ada faksi Taliban tertarik berdialog dengan pemerintah Afghanistan,” ujarnya, Selasa (13/3), di Kabul, Afghanistan.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani sudah menawarkan dialog perdamaian kepada semua faksi bertikai di Afghanistan. Sampai kini, Taliban belum menanggapi tawaran itu secara resmi. Taliban selama ini menyatakan hanya mau berdialog dengan AS.
Secara resmi, Taliban masih menganggap pemerintahan Ghani tidak sah. Mereka melihat tawaran itu hanya pengecoh. Taliban juga hampir dipastikan tak akan menghadiri perundingan di Uzbekistan, 26-27 Maret mendatang. Sampai kini tidak ada perwakilan Taliban menyatakan mereka akan hadir di sana.
Dialog itu akan dihadiri, antara lain, Ghani, Wakil Menteri Luar Negeri AS John Sullivan. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, dan Utusan Khusus PBB untuk Afghanistan Tadamichi Yamamoto.
Selain perundingan di Tashkent, Uzbekistan, pertemuan terkait upaya perdamaian di Afghanistan juga akan digelar Indonesia dalam Forum Trilateral Ulama Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan. Beberapa hari lalu, Taliban mengeluarkan seruan boikot terhadap pertemuan itu.
”Sampai sekarang belum ada kabar resmi soal itu (penolakan Taliban),” kata Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi.
Tiga faksi besar
MUI akan memverifikasi penolakan itu sebelum mengungkapkan tindakan lebih jauh. Verifikasi sikap Taliban diperlukan karena kelompok itu terdiri atas beberapa faksi.
Muhyiddin memaparkan, ada tiga kelompok besar di Taliban, yakni Rasul, Syardar, dan Haqqani. Selain itu, ada 20 kelompok kecil lainnya. ”Indonesia netral dan serius membantu Afghanistan. Tak ada kepentingan kecuali Afghanistan damai,” ujarnya.
MUI akan menghubungi para tokoh yang dihormati Taliban dalam waktu dekat. Tokoh yang akan dikontak berada di luar
Afghanistan, tetapi berpengaruh pada Taliban.
Dalam kunjungan ke Kabul, Mattis mengatakan, ia meyakini rekonsiliasi faksi-faksi di Afghanistan akan terwujud dan hal itu menjadi kemenangan Afghanistan. ”Sekarang semua berusaha mencapai rekonsiliasi,” ujarnya.
Keyakinan Mattis atas kesediaan semua pihak berdialog, antara lain, karena menganggap kelompok bersenjata semakin terdesak. AS terus meningkatkan serangan militer pada faksi-faksi militan di Afghanistan.
Saat Barack Obama pensiun sebagai Presiden AS, hanya tersisa 8.500 prajurit AS di Afghanistan. Kini, ada 17.000 tentara AS di sana. Sebanyak 3.000 di antaranya baru datang dengan status sebagai pelatih aparat keamanan Afghanistan.
AS juga mengerahkan banyak pesawat dan helikopter serbu untuk menggempur berbagai lokasi pertahanan dan sumber penghasilan kelompok-kelompok bersenjata. Untuk mendukung aksinya di Afghanistan, AS sudah menghabiskan 122 miliar dollar AS dalam 16 tahun terakhir.
”Cara (meningkatkan gempuran ke lokasi-lokasi pemberontak) itu memaksa setiap pihak mengkaji ulang pendapat mereka. Beberapa pengkajian ulang itu memang memicu peningkatan konflik dalam jangan pendek. Akan tetapi, pengkajian ulang itu ditunggu rakyat Afghanistan selama 40 tahun,” ujar Mattis.
Andrew Wilder, Wakil Presiden Bidang Asia pada Institut Perdamaian AS, mengatakan, setiap upaya damai akan butuh waktu panjang dan tidak mudah. ”Ada banyak keadaan yang membuat orang meragukan kesuksesan upaya itu,” ujarnya.
”Namun, saya lebih ragu ada pihak akan memenangi perang ini. Jadi, satu-satunya pilihan setelah empat dekade kekerasan adalah mengutamakan perdamaian,” tutur Wilder.