Hubungan Diplomatik Inggris-Rusia Memanas
MOSKWA, SABTU — Ketegangan diplomatik antara Inggris dan Rusia semakin menguat. Setelah pada Rabu (14/3) Inggris mengusir 23 diplomat Rusia, kini giliran Rusia membalasnya. Moskwa, Sabtu (17/3), mengusir 23 diplomat Inggris dan memberi mereka waktu seminggu untuk keluar dari Rusia. Tidak hanya itu, Moskwa bahkan menutup semua aktivitas British Council dan Konsulat Jenderal Inggris di St Petersburg.
Rusia tampaknya gerah dengan sikap dan tuduhan Inggris yang mengatakan bahwa Kremlin berada di belakang serangan racun terhadap mantan agen ganda Rusia, Sergei Skripal (66), dan putrinya yang bernama Yulia (33).
Rusia telah membantah tuduhan Inggris. Rusia mengeluhkan, Inggris telah gagal memberikan bukti keterlibatan Rusia dalam serangan di daerah Salisbury itu dan mengatakan bahwa pihaknya terkejut dan bingung dengan tuduhan tersebut.
Sebagaimana diberitakan, Minggu (4/3), Skripal dan Yulia ditemukan tak sadarkan diri di bangku di luar sebuah pusat perbelanjaan di Salisbury. Aparat yang melakukan penyelidikan kasus itu menemukan Skripal dan putrinya diduga kuat diracun. Zat beracun yang ditemukan adalah Novichok, senyawa kimia sangat beracun yang dikembangkan di era Soviet. Skripal adalah mantan intelijen militer Rusia berpangkat kolonel. Ia pernah dipenjara di Rusia karena pengkhianatan.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan, tindakan Moskwa merupakan tanggapan atas apa yang mereka sebut dengan ”tindakan provokatif dan tuduhan tanpa dasar” Inggris. Pernyataan itu merupakan peringatan Moskwa kepada London bahwa Rusia siap mengambil tindakan lebih lanjut jika terjadi lebih banyak ”langkah tidak ramah”.
Kementerian Luar Negeri Rusia pun telah memanggil Duta Besar Inggris Laurie Bristow dan memberitahunya tentang tindakan balasan Kremlin.
Sikap Inggris
Kepada wartawan, Bristow mengatakan, apa yang telah dilakukan Inggris—mengusir 23 diplomat Rusia—adalah tindakan yang diambil karena Moskwa gagal menjelaskan bagaimana Novichok bisa berada di Salisbury.
Kementerian Luar Negeri Inggris telah mengantisipasi tanggapan Rusia itu. Prioritas mereka saat ini adalah menjaga diplomat Inggris di Rusia dan membantu mereka yang akan kembali ke Inggris. Perdana Menteri Inggris Theresa May mengatakan, tanggapan Rusia tidak mengubah fakta tentang serangan racun terhadap Skripal dan Yulia.
”Tanggapan Rusia tidak mengubah fakta-fakta dalam kasus ini, percobaan pembunuhan dua orang di tanah Inggris, yang mana tidak ada kesimpulan alternatif selain bahwa negara Rusia bersalah,” tutur May.
Lebih lanjut May menegaskan, London tidak akan pernah menoleransi ancaman terhadap kehidupan warga Inggris dan warga negara-negara lain di tanah Inggris. Menurut dia, serangan atas Skripal adalah pelanggaran hukum internasional dan konvensi senjata kimia.
”Inggris akan mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam beberapa hari mendatang bersama sekutu dan mitra kami,” kata May.
Ketegangan ini menempatkan relasi bilateral London dan Moskwa pada titik terendah pasca-Perang Dingin. Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis telah bersama-sama meminta Rusia menjelaskan serangan di Salisbury. Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahkan memiliki dugaan Rusia berada di belakang serangan atas Skripal.
Jumat lalu, Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson mengatakan, sangat mungkin Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri telah membuat keputusan untuk menggunakan racun saraf untuk membunuh Skripal.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan, pernyataan Johnson yang menuduh Putin terlibat dalam serangan tersebut sebagai pernyataan yang ”mengejutkan dan tidak dapat dimaafkan”.
Putin sendiri belum memberi komentar atas tuduhan itu. Penyelidik Rusia telah menawarkan diri untuk bekerja sama dengan pihak berwenang Inggris. Namun, otoritas Inggris mengatakan, bantuan dalam kasus itu tidak cukup.
Para pemimpin Barat mendukung respons Inggris. Pimpinan Uni Eropa akan membahas insiden itu dalam pertemuan puncak di Brussels, pekan depan. Insiden ini juga jadi agenda pembahasan dalam perundingan Senin antara Johnson, rekan-rekannya dari Uni Eropa, dan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg.
(AP/AFP/Reuters/JOS)