Tragedi Suriah
Ingat Aleppo, ingat Abraham (Ibrahim). Suatu hari, ribuan tahun lalu, dalam perjalanannya dari Ur, Mesopotamia, ke Tanah Terjanji, Abraham berhenti di suatu tempat. Sambil istirahat, ia menyempatkan diri memerah sapinya yang dibawa dari Ur. Susu hasil perasan diberikan kepada siapa saja yang melintasi tempat dia beristirahat.
Tempat Abraham memerah susu itu kemudian diberi nama Halab, yang berarti ”memerah susu”. Halab itulah yang kini disebut Aleppo. Dalam bahasa Amorit, halab berarti besi atau tembaga. Namun, dalam bahasa Aramaik, halaba berarti putih. Ini sesuai dengan warna tanah di daerah itu.
Sapi-sapi Abraham, menurut cerita, berwarna abu-abu, yang dalam bahasa Arab adalah shaheb. Karena itu, tempat Abraham memerah susu juga disebut Halab ash-Shahba atau ia memerah susu sapi berwarna abu-abu.
Di mana tempat Abraham dahulu kala memerah susu sapi-sapinya? Aleppo? Aleppo sudah hancur. Yang tinggal hanyalah puing-puing rumah-rumah, toko-toko, masjid-masjid, gereja-gereja, tempat-tempat bersejarah, pasar, dan bangunan lainnya. Lebih dari 33.500 bangunan rata dengan tanah setelah perang empat tahun yang berakhir pada Desember 2016, dengan menewaskan paling kurang 31.000 orang.
Foto-foto tentang kondisi terakhir kota bersejarah itu sekarang ini memperlihatkan kehancuran yang begitu dahsyat. Nyaris tak ada yang berdiri utuh. Masih bening dalam ingatan serangan militer yang dilancarkan rezim Presiden Bashar al-Assad dengan sandi ”Operation Dawn of Victory” pada Desember 2016 menghancurkan tidak hanya kota Aleppo, tetapi juga penduduknya, dengan senjata terlarang, seperti bom tandan dan chlorine. Akibatnya, lebih dari 600 penduduk kota itu tewas.
Kisah Abraham memerah susu sapi-sapinya tinggalah cerita yang akan dituturkan ulang untuk sekadar menghibur diri bahwa kota itu memiliki sejarah begitu panjang, memiliki keistimewaan lain dibandingkan kota-kota dunia lainnya. Aleppo yang pernah disebut sebagai kota multikultural, tempat tinggal orang Kurdi, Iran, Turkoman, Armenia, Circassian, dan tentu orang-orang Arab, tempat gereja dan masjid berdiri mengisi kota saling hormat-menghormati, juga tinggal catatan sejarah.
Aleppo hanyalah salah satu dari sejumlah kota bersejarah di Suriah yang hancur karena perang yang pecah pada Maret 2011. Konflik bermula di Dera’a, kota yang terletak 90 kilometer sebelah selatan Damaskus dan dilewati jalan bebas hambatan dari Damaskus ke Amman. Perlawanan terhadap rezim yang berkuasa dimulai pada 15 Maret 2011, yang disebut sebagai ”Hari Kemarahan”, sebagai ungkapan protes atas tindakan kejam aparat keamanan terhadap anak-anak sekolah yang menuliskan kalimat ”Jatuhkan Rezim” di dinding sekolah (Trias Kuncahyono, 2012). Rutusan orang tewas.
Pergolakan di Dera’a adalah sebuah ledakan persoalan yang sudah menggunung di Suriah: karena ketimpangan, kemiskinan, pengangguran, sektarianisme, dan represi politik (Janis Berzins, 2013). Padahal, ketika Bashar al-Assad pada 2000 menjadi penguasa, ada harapan bahwa pemimpin yang terdidik itu akan membawa Suriah memasuki babak baru. Namun, setelah ia berkuasa, pengekangan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan individu tetap terjadi. Akan tetapi, Bashar al-Assad juga berusaha melakukan serangkaian reformasi, pembangunan. Karena itu, ia pun disebut sebagai ”benevolent dictator”, diktator yang bajik.
Dari Dera’a, konflik pun meluas. Tidak hanya semakin meluas, Konflik itu juga berubah tingkat konfrontasi. Mula-mula adalah konflik antara oposisi (rakyat serta berbagai kelompok masyarakat dan organisasi masyarakat) dan pemerintah. Lalu, menjadi regional proxy karena terlibatnya kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan dari negara lain. Misalnya, Hizbollah dan kekuatan politik di kawasan, seperti Iran, yang menghadapi kelompok negara-negara lain, dipimpin Arab Saudi. Kelompok-kelompok ini berasal dari sejumlah spektrum yang sangat lebar, mulai dari Islamis, Kiri, dan beberapa Nasionalis. Kemudian, konflik bertambah kompleks karena terlibatnya Rusia, China, dan Iran menghadapi AS. Perang Dingin pun seperti hidup kembali di daratan Suriah.
Pada suatu titik, perang menjadi lebih rumit lagi setelah kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menceburkan diri. Secara garis berasa ada tiga kelompok, yakni pemerintah, oposisi, dan NIIS. Pemerintah mendapat dukungan kuat dari Rusia, Iran serta China; oposisi mendapat dukungan AS dan sejumlah negara di Timur Tengah; dan NIIS. Ada perang di tengah peperangan. Kemudian, di sana, ada pasukan etnis Kurdi, ada pula Turki. Suriah benar-benar menjadi medan tempur yang demikian dahsyat dan akibatnya pun sangat dahsyat: ratusan bahkan jutaan orang Suriah mengungsi meninggalkan negerinya; ratusan ribu orang (ada yang menyebut kini mencapai 500.000 orang) tewas, anak-anak tewas, yang selamat terluka, kehilangan masa depan, begitu banyak bangunan hancur. Suriah kehilangan generasi mendatangnya.
Tujuh tahun telah berlalu. Suriah seperti kehilangan matahari. Masa depannya gelap. Masa depan anak-anak bangsanya pun gelap, segelap malam tak berbintang dan rembulan. Mereka, anak-anak, adalah korban kebrutalan dan kehausan akan kekuasaan, yang tidak hanya merasuki rezim yang berkuasa di Suriah, tetapi juga mereka—entah itu kelompok-kelompok bersenjata, kelompok politik, kelompok sektarian, ataupun negara-negara yang mencelupkan tangannya ke dalam ”baskom” Suriah dan mengaduk-aduk airnya. Semua negara yang terlibat dalam perang di Suriah—AS, Rusia, Iran, negara-negara Arab, Turki, dan yang lainnya—memiliki kepentingan.
Perang memang terbukti brutal. Tidak hanya brutal, tetapi brutal dan kejam; bahkan brutal, kejam, dan sama sekali tidak manusiawi. Dan, para pengobar perang adalah buta, tidak hanya buta mata, tetapi bahkan buta hati.
Perang pada umumnya tidak menyelesaikan masalah yang diperjuangkan dan, karenanya, kecuali menimbulkan kerusakan yang dahsyat, akhirnya juga terbukti sia-sia. Yohanes Paulus II mengatakan, ”Perang adalah kekalahan bagi umat manusia. Hanya dalam perdamaian dapat dijamin hormat bagi martabat manusia dan hak-hak manusia yang tak terhapuskan.”