Hubungan Indonesia-Australia dipererat melalui penandatanganan Rencana Aksi Kerja Sama Maritim di Sydney, Australia, Jumat (16/3). Kerja sama mencakup sembilan isu utama, mulai dari kewaspadaan terhadap aktivitas teroris generasi ketiga hingga upaya menunjang kestabilan kawasan bagi terciptanya pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Perjanjian ditandatangani Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Desra Percaya dan Deputi Sekretaris Asia Pasifik Kemlu Australia, Richard Maude. Menlu RI Retno LP Marsudi dan Menlu Australia Julie Bishop menyaksikan penandatanganan itu.
Penandatanganan dilakukan serangkai dengan pertemuan 2+2. Selain Retno dan Bishop, forum itu menghadirkan Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dan Menhan Australia Marise Payne. ”Kemaritiman adalah salah satu fokus program pemerintah,” kata Retno.
Bishop menyatakan, Australia sangat berkepentingan untuk menjaga keamanan dan stabilitas wilayahnya, termasuk wilayah laut. Canberra ingin mencegah penyelundupan narkotika dan obat-obatan terlarang, terorisme, perdagangan manusia di wilayahnya, sekaligus menjaga perdagangan bebas serta terbuka bagi masuknya investasi.
Rencana Aksi Kerja Sama Maritim merupakan tindak lanjut Deklarasi Bersama Kerja Sama Maritim, Februari 2017. Rencana itu mencakup 85 kegiatan terpisah yang melibatkan 17 institusi Australia dan 20 institusi Indonesia.
Bersamaan dengan itu, Australia mengumumkan Prakarsa Pengembangan Kapasitas Maritim bilateral selama empat tahun di Indonesia. Lewat inisiatif ini, Australia meningkatkan alokasi sumber daya guna membantu kemampuan maritim RI.
Sembilan isu utama yang tercantum dalam kerja sama antara lain pengembangan ekonomi, konektivitas maritim dan ekonomi biru berkelanjutan; serta penguatan pertahanan maritim dan memberantas kejahatan transnasional di perairan.
Keamanan maritim, kata Ryamizard, jadi bagian pertahanan negara. Di Asia Tenggara dan Australia, ada tiga perairan rawan: Selat Malaka, kawasan laut sekitar Thailand, dan Laut Sulu. Pengamanan wilayah itu dilakukan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Ryamizard menegaskan, tiga wilayah ini sentral dalam menghadapi kemungkinan aksi teroris generasi ketiga. Mereka adalah anggota atau simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang pernah ke Irak dan atau Suriah, tetapi sudah pulang ke negara asal atau negara selain Irak serta Suriah.
Dari 31.500 orang, sedikitnya 1.000 orang diduga berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. ”Teroris generasi pertama adalah anggota Al Qaeda. Anggota dan simpatisan NIIS sebagai generasi kedua di wilayah Irak dan Suriah,” ucapnya.