KAIRO, KOMPAS -- Transaksi Turki dan Rusia, seperti dilansir lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) yang berbasis di London dan dikutip harian berbahasa Arab, Al Hayat, Senin (19/3), berada di balik jatuhnya kota Afrin ke tangan pasukan Turki hari Minggu lalu dan keberhasilan rezim pasukan Suriah menguasai 80 persen wilayah Ghouta timur saat ini.
SOHR menyebut ada transaksi Afrin dengan imbalan Ghouta timur antara Turki dan Rusia. Harian Al Hayat mengutip SOHR, Turki sebenarnya sudah siap mendobrak kota Afrin sejak Februari lalu, namun masih menunggu lampu hijau dari Rusia. Rusia disebut baru memberi lampu hijau kepada Turki untuk masuk kota Afrin pekan lalu, dengan syarat Turki tidak menolak rezim Damaskus menguasai wilayah Ghouta timur.
Rusia, mitra dekat dan pendukung Suriah, merasa perlu bertransaksi dengan Turki karena milisi-milisi oposisi di Ghouta timur, terutama Jaish al-Islam, di bawah kendali Ankara.
Seperti dimaklumi, pasukan Turki dan koalisi oposisi Suriah pada hari Minggu lalu menguasai penuh kota Afrin setelah hampir dua bulan melancarkan operasi Ranting Zaitun sejak 20 Januari lalu. Namun, komandan milisi Unit Pelindung Rakyat (YPG) Kurdi, Osman Sheikh Isa, kepada harian Asharq Al Awsat menegaskan, YPG akan melancarkan perang gerilya melawan pasukan Turki di seantero wilayah Afrin.
Dilaporkan, tujuh warga sipil dan empat anggota oposisi Suriah tewas akibat ledakan di sebuah gedung bertingkat empat di kota Afrin, Minggu malam. Diduga kuat, ledakan itu berasal dari bom waktu yang dipasang YPG sebelum mundur dari kota Afrin.
Pada edisi Minggu, Asharq Al Awsat melansir Rusia dan Turki secara prinsip telah mencapai kesepakatan transaksi terkait wilayah Ghouta timur. Transaksi tersebut, yaitu Ghouta timur bagian selatan dan barat akan dikontrol rezim Bashar al-Assad. Ghouta timur bagian utara hanya diizinkan bagi kehadiran rezim Assad secara simbolis, namun pemerintah lokal tetap dipegang Dewan Lokal yang dikontrol oposisi.
Adapun milisi Jaish al-Islam yang mengontrol Ghouta timur bagian utara hanya diizinkan memegang senjata ringan. Adapun senjata berat yang mereka miliki akan dilucuti.
Namun, Rusia beberapa hari terakhir ini membuka perundingan lagi dengan Turki untuk mengeluarkan semua milisi bersenjata, termasuk Jaish al-Islam, dari Ghouta timur. Adapun Turki masih meminta milisi Jaish al-Islam tetap berada di Ghouta timur bagian utara, khususnya di kota Douma.
Milisi Jaish al-Islam dikenal dekat dengan Turki dan dianggap loyalis Ankara. Pemimpin Jaish al-Islam, Mohammed Aloushi, kini lebih banyak berdomisili di Istanbul daripada di Suriah. Jaish al-Islam termasuk salah satu faksi yang aktif ikut serta dalam forum perundingan Astana di Kazakhstan yang digagas Rusia.
Assad ke Ghouta timur
Sementara itu, hari Minggu, Presiden Assad untuk pertama kalinya sejak tahun 2011 dapat mengunjungi wilayah Ghouta timur setelah pasukannya menguasai 80 persen wilayah itu. Pasukan Suriah yang dibantu Rusia mulai melancarkan operasi militer di Ghouta timur sejak 18 Februari lalu.
Pasukan pemerintah mengklaim telah menguasai kota Hammuriyeh di Ghouta timur bagian selatan. Namun, milisi Faylaq al- Rahman mengklaim pula berhasil melancarkan serangan balik ke posisi pasukan pemerintah di Hammuriyeh. Juru bicara Faylaq al-Rahman, Wael Alwan, mengungkapkan, kini sedang ada perundingan intensif dengan PBB untuk menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil di Ghouta timur.
Alwan tidak menyebut soal perundingan terkait mundurnya milisi Faylaq al-Rahman dari Ghouta timur. Ia menegaskan, status milisi Faylaq al-Rahman tidak bisa dirundingkan.
Militer Suriah diberitakan telah membuka jalan aman bagi pengungsian warga sipil dari Ghouta timur bagian selatan, khususnya dari kota Hammuriyeh. SOHR melaporkan, sedikitnya 50.000 warga sipil telah mengungsi dari Ghouta timur bagian selatan. (Dilaporkan dari Kairo, Mesir)