BRUSSELS, SELASA — Inggris dan Uni Eropa mencapai kesepakatan periode transisi pasca-Brexit, Selasa (20/3). Meski demikian, kedua pihak masih berbeda tafsir terkait isu perbatasan Irlandia Utara.
Dalam kesepakatan itu, Inggris tetap akan menjadi anggota Uni Eropa tanpa hak suara selama 21 bulan sampai akhir 2020. Inggris bisa ”bernegosiasi, menandatangani, dan meratifikasi kesepakatan internasional”, tetapi Inggris tidak bisa melakukan kesepakatan dagang sebelum periode transisi berakhir, kecuali diberi izin khusus oleh 27 anggota UE.
Isu yang terberat dalam masalah ini adalah apakah perbatasan Irlandia Utara dan Irlandia akan dibiarkan ”terbuka” seperti saat ini atau tertutup seperti layaknya sebuah perbatasan negara (hard border). UE menginginkan tak terjadi perubahan pasca-Brexit.
London menginginkan keputusan soal itu harus dikaitkan dengan kesepakatan perdagangan bebas antara Inggris dan UE pada 2021. Namun, Irlandia menegaskan, isu perbatasan harus menjadi keniscayaan untuk mengantisipasi seandainya negosiasi perdagangan bebas UE-Inggris gagal.
Bagi PM Inggris Theresa May, isu ini juga menjadi pelik karena saat ini Partai Konservatif bergantung pada mitra koalisinya (DUP), partai kanan di Irlandia Utara. DUP menentang jika pasca-Brexit Irlandia Utara memperoleh perlakuan khusus dari Uni Eropa, yaitu tetap berada di bawah bea cukai UE. Alasannya, hal itu akan mengisolasi Irlandia Utara dari Inggris Raya.
Mengikat
Pemerintah Irlandia, kemarin, menyatakan bahwa keputusan Irlandia Utara akan tetap berada dalam aturan bea cukai UE pasca-Brexit sudah ”secara legal mengikat”.
Berdasarkan proposal UE, jika seluruh upaya untuk menghindari hard border gagal, Irlandia Utara akan membentuk ”wilayah peraturan bersama” (common regulatory area) dengan Irlandia dan 26 negara UE. Hal ini disebut sebagai backstop (penyokong). ”Penyokong ini secara legal mengikat sampai ada kesepakatan yang lebih baik,” kata jubir PM Irlandia, Leo Varadkar.
Pernyataan dari Irlandia itu langsung disambut oleh partai terbesar di Irlandia Utara, Sinn Fein. ”Terlepas penyangkalan dari Theresa May, saat ini sudah terkonfirmasi bahwa Pemerintah Inggris menerima kesepakatan yang dibuat, termasuk opsi penyokong di mana Irlandia Utara tetap berada dalam aturan bea cukai UE,” kata anggota parlemen Eropa dari Sinn Fein, Martina Anderson.
Akibatnya, PM May dikecam di dalam negeri karena dianggap tak mampu mempertahankan isu perbatasan Irlandia Utara. Sebelumnya May juga dikecam karena dianggap takluk terhadap tuntutan UE soal hak warga UE yang berada di Inggris pada masa transisi.
Kecaman bukan hanya datang dari kubu anti-May, melainkan juga dari Ruth Davidson, kepanjangan tangan Partai Konservatif di Skotlandia. Ia menilai, isu transisi merupakan kesepakatan buruk karena membiarkan UE tetap berkuasa di wilayah kewenangan Inggris.