Irak dan Problem Budaya Demokrasi
Selasa, 20 Maret lalu, genap 15 tahun peristiwa invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak berlalu. Pada 20 Maret 2003, pasukan darat AS bertolak dari Kuwait menuju Irak dalam misi menumbangkan Presiden Saddam Hussein di Baghdad.
Hanya tiga pekan kemudian, persisnya 9 April 2003, Baghdad jatuh ke tangan pasukan AS. Rezim Saddam Hussein pun ambruk. Irak memulai sejarah baru, era pasca-Saddam Hussein.
Saat itu AS mengumumkan visi membangun demokrasi di dunia Arab, dimulai dari Irak, dengan cara menumbangkan rezim diktator Saddam Hussein. Namun, membangun budaya demokrasi di Irak dan dunia Arab tidak semudah menjatuhkan rezim Saddam Hussein.
Kasus Irak memberi pelajaran tentang adanya gap besar antara bangsa Arab dan Barat terkait budaya politik demokrasi. Konsep budaya politik demokrasi yang modern di dunia Barat ternyata tidak bisa serta merta diadopsi di Irak. Musim semi Arab tahun 2011 menjadi bukti lain bahwa budaya demokrasi modern belum siap diterapkan di dunia Arab.
Maka, peringatan 15 tahun invasi AS ke Irak sebaiknya menjadi bahan renungan dan pelajaran, betapa rakyat Irak dan juga bangsa Arab belum siap melakukan transformasi menuju budaya politik modern.
Hal ini barangkali karena, di masa peralihan dari era kolonialisme ke era pasca kolonialisme pada abad ke-20, rakyat Irak dan bangsa Arab gagal membangun sistem demokrasi dalam sistem politik modern mereka. Sebaliknya, pada saat itu marak kudeta militer di Irak dan dunia Arab sehingga memunculkan kekuasaan diktator militer sampai saat ini.
Sektarianisme, pertarungan elite, dan kekerasan membelit Irak pasca-era Saddam Hussein. Ini pelajaran penting dari invasi AS ke Irak, 15 tahun lalu.
Perebutan kaum elite
Apa yang terjadi di Irak selama 15 tahun terakhir ini merupakan dampak gagalnya upaya membangun sistem demokrasi di negara itu pasca kolonialisme. Ketika AS untuk pertama kali mengenalkan sistem demokrasi di Irak melalui pemilu demokratis pada Desember 2005, sebagian komponen masyarakat —khususnya kaum Sunni—tidak sepenuh hati menerima hasil pemilu parlemen saat itu.
Pemilu parlemen Irak pada Desember 2005 melahirkan elite kekuasaan baru dari kaum Syiah, kelompok mayoritas di negeri itu. Tampilnya kaum Syiah ke tampuk kekuasaan ternyata belum diterima sepenuh hati oleh elite Sunni. Apalagi, PM Irak pertama hasil pemilu parlemen pada Desember 2005 itu adalah Nouri al-Maliki dari partai Dakwah yang dikenal pro-Iran.
Seperti dimaklumi, kaum Sunni—meski minoritas—memegang kekuasaan di Irak pasca era kolonialisme hingga tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Sikap kurang legawa elite Sunni terhadap realitas politik baru di Irak yang didominasi kaum Syiah, mengantarkan sebagian elite Sunni memilih jalan kekerasan untuk mengganggu stabilitas negara Irak dan menggagalkan pemerintah kaum Syiah.
Karena itu, aksi kekerasan di Irak pasca pemilu parlemen 2005 sering digalang elite politik negara itu sendiri dalam konteks pertarungan elite Syiah dan Sunni. Bahkan, aksi kekerasan di Irak pasca pemilu 2005 semakin meningkat. Situasi politik yang karut marut di Irak tersebut segera dimanfaatkan oleh kelompok Al Qaeda di Irak (AQI) yang saat itu dipimpin Abu Musab al-Zarqawi.
AQI, yang juga dikenal bernama Tanzim Qaidat al-Jihad fi Bilad al-Rafidayn (TQJBR) pasca 2005 mengembangkan serangan terhadap pasukan pendudukan AS dan sekaligus pemerintah Baghdad yang didominasi kaum Syiah. Pada 7 Juni 2006, Zarqawi tewas dalam sebuah serangan udara pesawat tempur AS.
Lahirnya NIIS
Sering disinyalir pula, sejumlah elite Sunni main mata dengan Al Qaeda untuk merongrong kekuasaan PM Maliki. Pasca tewasnya Zarqawi, Al Qaeda sempat melemah. Namun, Abu Bakar al-Baghdadi mengambil alih kendali Al Qaeda yang beralih nama menjadi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Banyak pengamat menyebut, PM Maliki yang dianggap sektarian dan pro Iran merupakan salah satu faktor utama penyebab lahirnya NIIS di Irak. Mulai Januari 2014, NIIS melancarkan serangan masif ke berbagai wilayah yang berpenduduk mayoritas Sunni di Irak barat dan barat laut.
Pada Juni 2014, NIIS menguasai hampir 40 persen wilayah Irak. Dari kota Mosul, Baghdadi mendeklarasikan berdirinya negara khilafah. Jatuhnya kota Mosul, kota terbesar kedua di Irak, ke tangan NIIS merupakan tamparan keras terhadap pemerintah Irak.
Kemampuan NIIS menguasai hampir 40 persen wilayah Irak menjadi faktor jatuhnya kekuasaan PM Maliki. Ia diganti Haider al-Abadi. Begitu memangku jabatan PM Irak, Abadi langsung mengumumkan perang terhadap NIIS. Mulai Oktober 2016, dimulai operasi militer Irak besar-besaran dengan dibantu koalisi internasional pimpinan AS untuk menumbangkan kekuasaan NIIS di Mosul, ibu kota kelompok itu di Irak.
Mosul dibebaskan dari NIIS pada Juni 2017. Pasukan Irak memburu milisi NIIS di kota-kota lain hingga akhirnya NIIS di Irak saat ini terjepit di wilayah gurun, dekat perbatasan dengan Suriah. Kekuasaan NIIS di Irak kini hanya sekitar 5 persen.
Pasca era NIIS di Irak, PM Abadi menegaskan, tantangan terbesar negaranya adalah melawan korupsi dan membangun kembali negeri Irak. (Dilaporkan dari Kairo, Mesir)