Layanan Optimal untuk Penyumbang Miliaran Dollar AS
Hampir semua uang itu berputar di desa-desa. Dana itu menjadi penggerak perekonomian riil di banyak kabupaten/kota.
”Nilainya bisa jadi lebih besar dari taksiran Bank Dunia. Sebab, tidak ada catatan pasti jumlah pekerja migran Indonesia dan sebagian dari mereka tidak mengirim lewat bank atau lembaga keuangan lain. Di Malaysia, banyak pekerja migran Indonesia tidak berhubungan dengan bank,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.
Pemerintah menaksir ada 6 juta pekerja migran Indonesia di mancanegara. Sementara Bank Dunia memperkirakan total 9 juta WNI bekerja di negara lain, 3 juta di antaranya berstatus pekerja ilegal. Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Rusdi Kirana dan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel membenarkan banyaknya WNI jadi pekerja ilegal. Di dua negara terbesar dalam daftar pengirim upah pekerja migran Indonesia itu ditaksir lebih dari 1 juta WNI bekerja secara ilegal.
”Hanya Allah SWT yang tahu (jumlah pasti WNI di Arab Saudi). Kami sering kali mendata, ternyata selalu masuk data baru. Banyak WNI tidak pernah melapor ke KBRI dan KJRI saat datang (ke Arab Saudi). Mereka baru melapor saat ada masalah,” tutur Agus.
Agus dan para diplomat Indonesia di Saudi tak selalu menggunakan pendekatan antar-pemerintah untuk menyelesaikan masalah WNI di sana. Agus dan jajarannya kerap mendatangi pimpinan kabilah atau suku lalu saling bertukar syair dalam bahasa Arab agar bisa diterima. Setelah itu baru dibahas cara penyelesaian masalahnya.
Legalitas
Legalitas menjadi catatan penting dalam isu WNI. Salah satu pangkal berbagai masalah WNI di luar negeri adalah status sebagai pendatang ilegal. Status itu menjadi penyebab utama pekerja migran mendapat upah rendah dan rentan terhadap kekerasan serta perlakuan tidak adil lainnya.
Sebagai pembanding, Bank Dunia mencatat Filipina dengan kurang dari 2 juta pekerja migran meraup devisa lebih dari 32 miliar dollar AS selama Januari-Oktober 2017. Pada periode yang sama, Indonesia dengan 9 juta pekerja migran hanya mendapat 8,6 miliar dollar AS.
Dengan nilai kiriman itu, Filipina berada di peringkat ke-3 pada daftar penerima kiriman pekerja migran paling besar di dunia. Filipina hanya kalah dari India dan China yang memang punya lebih banyak pekerja migran dan sebagian bekerja di sektor berbayaran tinggi seperti keuangan dan teknologi. Sementara Indonesia berada di peringkat ke-16.
Meskipun bekerja di sektor informal dan domestik, sebagian besar pekerja migran Filipina berstatus legal. Sebaliknya hampir separuh pekerja migran Indonesia berstatus pendatang ilegal dan umumnya bekerja di sektor perkebunan dan domestik serta tinggal di perdesaan.
Dalam kajian Bank Dunia di Malaysia, pekerja di perkotaan mendapat upah hampir dua kali lipat dari pekerja perkebunan.
Alasan upah lebih tinggi juga membuat Sudirman (32) memilih jalur formal. Warga Desa Pegagan, Cirebon, Jawa Barat, itu membutuhkan hampir enam bulan sebelum bisa berangkat pada Maret 2018.
Ia menyatakan tidak ingin terkena masalah karena bekerja secara ilegal di luar negeri. Ia memilih bersabar mengikuti proses untuk menjadi awak kapal dengan titik berangkat di Singapura.
Sebagai awak kapal, ia ditawari penghasilan mulai dari Rp 8 juta per bulan. Tawaran itu lebih dari 400 persen upah minimum Cirebon 2018 yang sebesar Rp 1,8 juta. Ada kemungkinan upahnya lebih tinggi jika ia mendapat insentif yang disesuaikan dengan kinerja.
Perlindungan
Dalam pernyataan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta disebutkan, Malaysia tidak membedakan pekerja sektor formal atau informal dan domestik. Semua dinaungi peraturan yang sama, antara lain Akta Pampasan (asuransi) Pekerja tahun 1952, Akta Kerja tahun 1955, Akta Standar-standar Minimum Perumahan dan Kemudahan Pekerja tahun 1990, dan Perintah Gaji Minimum tahun 2012.
Selain peraturan yang berlaku secara nasional itu, ada pula aturan yang berlaku di tingkat negara bagian seperti Ordinan Buruh Sarawak-bab 76 dan Ordinan Buruh Sabah-bab 67.
Dengan serangkaian peraturan itu, setiap pekerja berhak mendapat upah dan aneka fasilitas lain. ”Jika ada masalah, pekerja boleh menghubungi kementerian tenaga kerja atau kantor ketenagakerjaan. Setiap pengaduan, baik dari pekerja dalam negeri maupun asing, pendatang resmi atau tidak sah akan disiasat (diselidiki),” demikian pernyataan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.
Semua pelanggaran, jika terbukti bersalah, akan dihukum. Kedutaan Besar Malaysia menyebut sudah banyak pemberi kerja dihukum karena mempekerjakan pendatang ilegal. Hal itu antara lain menimpa tiga warga Trengganu yang masing-masing didenda 20.000 ringgit, 10.000 ringgit, dan 5.000 ringgit pada Januari 2018.
Masih dalam pernyataan yang sama, calon pekerja migran ke Malaysia yang berangkat secara legal seharusnya tahu soal hak dan kewajiban mereka. Sebab, soal hak dan kewajiban itu diberi tahu dalam pelatihan sebelum berangkat bekerja di Malaysia.
Terkait retribusi bernilai ribuan ringgit per tahun per pekerja migran yang wajib dibayar pemberi kerja, Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta menyebut hal itu untuk membuktikan kelayakan merekrut pekerja migran. Majikan dilarang membebankan retribusi itu pada pekerja dengan cara memotong gajinya. Calon pekerja migran disarankan tidak bekerja pada majikan yang tidak mampu membayar retribusi itu.
Akan tetapi, yang terjadi, menurut Presiden Asosiasi Migran Internasional Eni Lestari, di Malaysia, pendekatan keimigrasian kerap lebih diutamakan ketimbang pendekatan lain. Banyak pekerja migran tidak berani mengadukan penganiayaan atau pelanggaran hak lainnya oleh majikan karena takut ditangkap petugas imigrasi. Hal ini lagi-lagi berpangkal pada soal legalitas.
Persoalan legalitas inilah yang menjadi sorotan Eni dan Wahyu. Untuk itu, menurut Wahyu, pemerintah perlu membuat sistem terintegrasi dan mudah diakses para calon pekerja migran. Ia menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang memberi tanggung jawab lebih banyak pada pemerintah terkait buruh migran. Proses perekrutan, pelatihan, dan pembekalan yang sebelumnya menjadi bagian dari tanggung jawab agen swasta saat ini ditangani oleh pemerintah.
Hanya saja, ketentuan itu saat ini masih membutuhkan aturan pelaksanaan yang perlu mendapat perhatian banyak pihak. Wahyu tidak ingin langkah maju itu tersandera kembali karena proses pembuatan peraturan pelaksana terkontaminasi anasir yang gemar memanfaatkan keluguan calon pekerja migran.