Kisah Balkh
Setiap perang dan setiap konflik
antar-manusia terjadi
karena ketidaksepakatan tentang nama.
...........
Apa yang dipuji adalah satu, jadi pujiannya juga salah,
banyak kendi dituangkan ke dalam baskom besar.
Semua agama, semua nyanyian ini, satu lagu.
Rumi
Balkh, nama kota kuno itu. Ada yang menyebut 2.500 tahun silam kota itu sudah dihuni orang. Berarti ketika itu sudah ada peradaban manusia di sana. Balkh, terletak di dataran rendah antara Pegunungan Hindu Kush dan Sungai Amu Darya— disebut juga Oxus atau Sungai Balkh—ada di Afghanistan utara.
Hindu Kush adalah pegunungan yang membentang dari Afghanistan tengah hingga utara Pakistan. Pegunungan ini panjangnya 800 kilometer dan lebarnya 240 kilometer. Puncak tertinggi pegunungan ini adalah Gunung Tirich Mir (7.708 meter di atas permukaan laut) di Khyber Pakhtunkhwa. Pegunungan Hindu Kush di Afghanistan dan Pakistan utara biasanya dianggap sebagai batas barat laut anak benua India atau Asia Selatan.
Kondisi alam seperti itu yang tentu memengaruhi atau ikut membentuk karakter dan peradaban orang-orang, masyarakat di Balkh yang oleh orang-orang Arab disebut sebagai Umm al-belad, Ibu Daratan. Oleh orang-orang Yunani kuno, Balkh dinamai Bactra yang menjadi ibu kota Bactria kuno.
Kota ini strategis di zamannya karena terletak di jalur Jalan Sutra yang membentang dari timur ke barat. Oleh karena dilewati sungai, kesuburan tanah berpihak pada Balkh. Itulah sebabnya, dahulu kota itu dikenal sebagai penghasil anggur, jeruk, bunga bakung atau lili, tebu, dan sangat cocok untuk beternak unta.
Balkh pada suatu masa pernah menjadi pusat Budhisme; dan memainkan peran penting dalam perkembangan Sufisme serta sastra Persia, dan nantinya teologi Islam. (John Cooper: 2002) Sejarah juga menceritakan, Balkh pernah dihancurkan oleh orang-orang Turki Guzz. Sejarah kota tempat kelahiran Zarathustra pada kira-kira tahun 600 SM ini—karena itu menjadi kota suci bagi agama Zarathustra—termasyhur sampai Jenghis Khan dan orang-orangnya menghancurkannya pada tahun 1220. Sejak saat itu, Balkh tidak pernah pulih kembali seperti sebelumnya; dan akhirnya pelan-pelan cahaya Balkh meredup, pudar, dan padam. Pusat pemerintahan lalu dipindah 20 kilometer ke arah selatan, yakni ke Mazar-e-Sharif.
Akan tetapi, di Balkh inilah pujangga besar Persia, seorang tokoh sufi lahir. Dialah Mowlaanaa Jalaaloddin Balkhi, yang di Persia dikenal sebagai Jalaal ad-Diin Muhammad Balkhi dan di Barat dikenal sebagai Rumi. Ia lahir pada 30 September 1207 di Provinsi Balkh, Afghanistan utara; yang kemudian hari menjadi wilayah timur Kesultanan Persia.
Rumi seorang penyair besar. Potongan puisi di atas, ditulis Rumi. Puisi berjudul ”On Song”, menurut Coleman Barks, ditulis di abad ke-13. Barks yang lahir dan besar di Chattanooga, Tennessee, AS, juga penyair. Ia memperkenalkan karya-karya penyair mistik Sufi Jalaal ad-Din Rum (Jalaluddin Rumi). Lebih dari selusin volume puisi Rumi diterjemahkan Barks, seperti The Illuminated Rumi (1997) dan The Essential Rumi (1995).
Ada cerita. Setelah ayahnya meninggal (1231), Rumi memimpin madrasah yang jumlah muridnya lebih dari 10.000 orang, termasuk tukang batu, grosir bahan makanan, tukang tenun, pembuat topi, tukang kayu, penjahit, dan penjilid buku. Pada tahun 1244, Rumi bertemu Sham Tabriz, seorang darwis yang bersumpah untuk hidup miskin. Pertemuan itu dipandang sebagai peristiwa sangat penting dalam kehidupan Rumi, saat itu dan selanjutnya.
Hubungan keduanya menjadi sangat akrab. Beberapa kali, Sham diusir dari rumah Rumi oleh murid-murid Rumi yang cemburu, termasuk salah seorang anak lelakinya, ala al-Din. Pada Desember 1248, Sham hilang lagi dari rumah Rumi: ada yang menduga ia diusir atau dibunuh. Mengetahui sahabatnya hilang, Rumi pergi meninggalkan madrasah untuk mencari Sham. Rumi berjalan mencari Sham hingga sampai Damaskus.
Sampai akhirnya, Rumi berdamai dengan rasa kehilangannya. Ia pulang ke rumahnya. Meski sudah berdamai dengan kepedihan karena kehilangan sahabat karib, Rumi tak mampu benar-benar menghapus duka. Kedukaan itu diungkap menjadi lebih dari 40.000 lirik syair, termasuk ode, eulogi, quatrain, dan puisi lainnya. Satu kumpulan puisinya adalah Divan-e Shams-e Tabrizi atau Karya-karya Shams Tabriz, satu masterpiece, karya agung Rumi dan salah satu karya terbesar sastra Persia.
Balkh, kota kuno itu, kini sudah digantikan Mazar-e-Sharif. Tidak ada lagi Balkh lama. Yang tinggal hanyalah puing-puing yang mengingatkan akan kebesaran yang pernah dimiliki. Kebesaran di masa lalu adalah sejarah. Dan, sejarah adalah alat untuk introspeksi sekaligus perenungan diri. Karena, apa yang terjadi adalah siklus, yang bisa terjadi beberapa hari, beberapa minggu, bulan, dan tahun mendatang. Sebab, masa lalu sejatinya adalah yang menentukan masa yang akan datang.
Kalau sekarang melihat kondisi Afghanistan, yang sudah 40 tahun dicabik-cabik perang saudara, yang saban hari nyaris dihiasi dengan serangan bom dan juga bom bunuh diri, yang kelompok-kelompoknya saling berebut kuasa sehingga menepikan perdamaian, yang pemerintahnya tak mampu mengendalikan keadaan, yang dikuasai oleh kemiskinan rakyatnya, dan yang penduduknya memilih meninggalkan kampung halamannya daripada hidup di bawah tekanan dan ancaman, bukan tidak mungkin akan mengulangi nasib dan tragedi Balkh.
Maka itu dengarlah pesan Rumi:
”Wahai pejalan, tak kan pernah engkau mengalami kehancuran kapal keberadaan diri ini, sampai engkau meletakkan pemberat terakhir.”
Kini, sikap berbagai kelompok bersenjata dan juga kelompok berbasiskan agama, katakanlah Taliban, yang enggan membangun rumah perdamaian dengan pemerintah Kabul, ibarat meletakkan ”batu pemberat terakhir” yang tidak mustahil akan menenggelamkan Afghanistan. Akankah kisah Balkh berulang?