Metamorfosis Arab Saudi, dari Ibn Saud hingga Bin Salman
Oleh
·3 menit baca
Negara Arab Saudi memiliki sejarah cukup panjang dan berliku-liku. Dalam catatan sejarah dikenal ada negara Arab Saudi I, II, dan III. Negara Arab Saudi saat ini yang diproklamasikan Raja Abdulaziz al-Saud tahun 1932 sering disebut negara Arab Saudi III. Kini, sejumlah pengamat menyebut sudah lahir negara Arab Saudi IV yang dipimpin oleh duet Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS).
Disebut Arab Saudi IV karena Raja Salman dan MBS telah melakukan gerakan pembaruan luar biasa terhadap Arab Saudi saat ini. Sedemikian besar gerakan pembaruan itu, seolah ada semacam keterputusan sejarah antara Arab Saudi saat ini dan Arab Saudi sebelumnya.
Raja Salman, misalnya, mengubah tradisi suksesi di lingkungan keluarga Ibn Saud yang berkuasa: dari saudara ke saudara secara bergiliran sesuai dengan senioritas menjadi model suksesi dari orangtua ke anak seperti yang umumnya berlangsung di negara-negara monarki lainnya. Keputusan Raja Salman mengganti putra mahkota, Pangeran Mohammed bin Nayef, akhir Juni 2017, dengan putranya, MBS, adalah tradisi baru suksesi di tubuh elite keluarga besar Ibn Saud.
Setelah menjabat putra mahkota, MBS menegaskan mengadopsi paham Islam moderat sebagai doktrin dalam menjalankan kekuasaannya. Doktrin Islam moderat itu antara lain tecermin dalam keputusan MBS mengizinkan kaum perempuan mengemudi kendaraan, menonton olahraga, dan hadir pada pergelaran konser musik modern. Karena itu, saat ini sangat layak disebut era negara Arab Saudi IV yang berbeda sama sekali dengan Arab Saudi era sebelumnya.
Dua kali ambruk
Sebelum ini, sudah dikenal tiga fase sejarah, yakni Arab Saudi I, II, dan III. Negara Arab Saudi I lahir pada tahun 1744 dari hasil kolaborasi antara Muhammad bin Saud (sayap politik) dan Muhammad ibn Abd al-Wahhab, pendiri gerakan Wahabi (sayap agama). Negara Arab Saudi I semula berkuasa di kota Riyadh dan sekitarnya dan pada tahun 1805 melebar dengan menguasai Mekkah dan Madinah.
Hasil kolaborasi tersebut yang mengantarkan ajaran Wahabi menjadi ideologi negara Arab Saudi I. Situasi sosial dan politik di kota Riyadh dan sekitarnya saat itu dikenal sangat keras dan nyaris tidak ada sta-
bilitas. Satu suku dengan suku lain atau kabilah saling berperang dan berebut pengaruh. Karena itu, negara Arab Saudi I memiliki karakter sangat keras dan radikal untuk menghadapi masyarakat yang keras pula.
Negara Arab Saudi I ambruk pada 1818 akibat invasi pasukan Ottoman ke kota Riyadh, Mekkah, dan Madinah. Negara Arab Saudi II sempat berdiri pada tahun 1824 yang berkuasa di wilayah Nejd, Arab Saudi bagian tengah. Namun, negara itu ambruk lagi tahun 1891 akibat kalah perang dari klan Al-Rashid. Ibn Saud mengungsi ke beberapa daerah sebelum menetap di Kuwait.
Pada 1897, penguasa Nejd, Muhammad bin Rashid dari klan Al-Rashid, wafat. Wafatnya Muhammad bin Rashid melemahkan kekuasaan klan Al Rashid dan membuka peluang klan Al-Saud berkuasa lagi di Nejd.
Pada 1902, Abdulaziz dari klan Al-Saud menguasai kembali kota Riyadh. Atas bantuan milisi Ikhwan yang menganut paham Wahabi, ia berhasil menguasai Ahsa, Saudi bagian timur, pada tahun 1913. Dan atas bantuan Inggris dan milisi Ikhwan, Abdulaziz menguasai Hejaz yang terdapat kota Mekkah dan Madinah pada 1925.
Pada 1932, Abdulaziz mendeklarasikan negara Arab Saudi III yang berkuasa di hampir seluruh jazirah Arab saat itu dan terus berlanjut sampai saat ini hingga muncul MBS dengan gerakan pembaruannya melalui Visi 2030 sejak April 2016.