Di Puncak Bukit
Ketika Ia tergantung antara langit dan bumi
Ketika semua ejekan, cemoohan, cercaan, hinaan
mengalir pada-Nya
Ia berkata:
”Ya Bapa, ampunilah mereka,
sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”
Tak ada yang peduli dengan ucapan itu
Massa meninggalkan salib yang menggantung tiga tubuh
Hanya Ibu-Nya yang berdiri di bawah salib
memandang anaknya tidak berdaya
Ketika itu, cahaya siang dicabut dan langit gelap
Langit mendadak gelap
Bumi gelap
Guncangan keras menggerakkan bumi
Berakhirlah sudah perjalanan itu
Di puncak bukit semua berakhir sekaligus bermula
30 Maret 2018
Dua ribu tahun silam, peristiwa itu terjadi ketika ”bulan tampak memerah darah, seperti yang pernah dinubuatkan oleh Nabi Yoel... ’Matahari akan menjadi gelap dan bulan akan berwarna darah...’”, begitu tulis Cyril dari Aleksandria, Patriark Ortodoks dari Aleksandria pada tahun 412. Inilah peristiwa penyaliban yang terjadi 2.000 tahun silam.
Penyaliban, menurut Yosephus, seorang sejarawan Yahudi di masa lalu, adalah bentuk kematian yang paling menyedihkan. Hukuman seperti itu dijatuhkan tentara Romawi terhadap para pemberontak. Hukuman kejam dan di luar batas kemanusiaan itu dahulu kala diberlakukan untuk mencegah agar orang tidak melanggar hukum. Pada zaman Romawi, hukuman salib dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan serius dan pengkhianatan terhadap negara. Hal yang sama juga diberlakukan di Persia, Yunani, dan Carthagena (Kartago, sekarang masuk wilayah Tunisia).
Akan tetapi, para penulis zaman Romawi menyebutkan bahwa hukuman salib adalah hukuman yang biasa dijatuhkan terhadap para budak. Karena itu, muncul istilah servile supplicium atau hukuman para budak. Hal itu, antara lain, diungkapkan oleh Plautus (250-184 SM), penulis Romawi yang pertama kali mengisahkan tentang hukuman salib. Sceledrus, dalam karyanya berjudul Miles Gloriosus (205 SM), menulis demikian:
Scio crucem futuram mihi sepulcrum; ibi mei maiores sunt siti, pater, auos, poauos, abaous—Saya tahu salib akan menjadi kuburanku; yang juga menjadi kuburan leluhurku, ayahku, kakekku, buyutku, buyut ayahku... (Trias Kuncahyono, Jerusalem 33, 2011).
Martin Hengel lewat karyanya, Crucifixion, mengungkapkan cerita lain. Ia menulis, ”Adalah tidak seluruhnya benar bahwa yang dihukum salib hanya para budak dan peregrini (orang asing). Hukuman salib juga dapat dijatuhkan terhadap orang Romawi yang terbukti melakukan kejahatan serius dan pengkhianatan terhadap negara (perduellio)”.
Yang pasti, disalib adalah bentuk ”kematian yang paling buruk”, kata Yosephus; dan Cicero, negarawan Romawi, menambahkan, disalib sebagai crudellissimum taeterrimumque, hukuman yang paling bengis dan memuakkan....
Itulah hari terkelam ketika yang dimuliakan di antara manusia menyerahkan nyawa-Nya di tiang salib kehinaan, karena polah tingkah manusia, karena kedunguan manusia. James D Tabor menulis, ”Bila kita menyisihkan semua perkara teologis dan berkonsentrasi pada fakta historis yang lebih kurang masuk akal, kita dapat mengatakan hal-hal berikut: Imam Besar Hanas dan Kayafas bersama para pengikutnya menyerahkan Yesus ke tangan Pontius Pilatus disertai dengan tuduhan pemberontakan” (Jerusalem 33, 2011).
Itu adalah fakta sejarah. Fakta sejarah menjelaskan bahwa Yesus dibunuh atas dasar konspirasi politis-keagamaan. Konspirasi antara penguasa negara, yakni Pontius Pilatus, dan kuasa agama, Imam Agung dan para ahli kitab, serta mobilisasi massa bayaran dan budak. Ada triumvirat jahat pada masa itu yang berperan penting dalam penyaliban Yesus: sang Wali Negeri (Pontius Pilatus), Raja (Herodes Antipas), dan Imam Agung (Hanas serta Kayafas).
Itulah sejarah terkelam konspirasi religio-politik yang berujung pada ketidakadilan. Pontius Pilatus dan Kayafas bersatu tujuan, yakni mempertahankan kekuasaan imperialisme. Apabila kekuasaan imperialisme Romawi bertahan, kekuasaan keduanya pun akan tetap bertahan. Mereka—pemimpin politik dan agama—bersekongkol untuk menghukum mati seorang Guru Kehidupan dengan mengerahkan massa, lewat hukuman mati di luar batas kemanusiaan: disalib!
Persekongkolan reiligo-politik inilah yang pada akhirnya mengajarkan kematian bukan kehidupan, kekerasan serta ancaman bukan belas kasih, permusuhan bukan persaudaraan, dendam bukan pengampunan, menista ketimbang memuliakan, memfitnah bukan mengatakan kejujuran, kesombongan bukan kerendahhatian, dan gemar menghakimi serta menghukum orang lain daripada memaafkan. Persekongkolan itu juga membuat manusia mengotak-ngotak: kami bukan kita, aku bukan kamu, mereka bukan kita.
Padahal, semua guru, semua nabi, mengajarkan tentang cinta, tentang pengampunan, tentang persaudaraan, tentang toleransi, tentang kerendahan hati, tentang hidup bersama sebagai saudara, tentang pengampunan, tentang hidup damai bukan perang. Namun, perang masih berkecamuk di mana-mana—Suriah, Yaman, Libya, Palestina, dan sejumlah negara Afrika.
Karena itu, lihatlah di atas bukit, justru di puncak sengsara dan nestapa dengan luka yang merobek-robek tubuh-Nya, serta duka yang menguasai hatinya, Ia yang tergantung di salib masih mengatakan, ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Di atas bukit, tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi kebencian, yang ada hanyalah cinta kasih, yang di tengah-tengah kita, kini semakin pudar, karena banyak orang mencari kemegahan diri.