Presiden Perancis Emmanuel Macron mengumumkan keputusan penting, beberapa hari lalu. Ia menyatakan, Perancis akan menganggarkan 1,5 miliar euro atau Rp 25,4 triliun hingga tahun 2022 untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan.
Pengumuman itu disampaikan dalam forum yang dihadiri para menteri dan pebisnis besar di College de France, Paris. Di belakang Macron terpasang sejumlah papan tulis yang memuat banyak persamaan matematika.
Tujuan utama rencana anggaran itu adalah mencegah matematikawan dan insinyur komputer Perancis pergi ke Amerika Serikat dan bekerja di negara itu. Gelombang kepergian para ahli itu disebut sebagai kesia-siaan bagi Perancis yang sudah menyubsidi pendidikan para ilmuwan. Macron ingin gelombang itu berhenti, kalau bisa berbalik arah. Ia ingin Perancis menjadi negara perusahaan rintisan, khususnya di sektor teknologi, untuk menyerap orang-orang pintar itu.
”Lady Gaga” matematika
Keputusan Macron tidak dibuat tiba-tiba. Salah satu landasan kebijakan itu adalah laporan yang ditulis oleh tim yang dipimpin Cedric Villani, matematikawan eksentrik peraih Medali Fields pada 2010, penghargaan yang disetarakan dengan Hadiah Nobel, walakin khusus untuk bidang matematika.
Villani kerap disebut ”Lady Gaga” di jagat matematika. Tak hanya piawai di angka, ia juga politisi dengan menjadi anggota parlemen mewakili La République En Marche, partai politik pengusung Macron. ”Ada defisit dalam hubungan antara matematika dan politik. Tugas saya memperkuat lagi hubungan itu,” ujar Villani, dikutip Bloomberg.
Ilmuwan gondrong yang sehari-hari berbusana ala era gotik itu menjadi kepercayaan Macron dalam proyek masa depan Perancis. Selain menyusun laporan mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang menjadi landasan anggaran belanja Macron, ia juga membuat kajian soal pengajaran matematika yang lebih baik. Ia tengah menyiapkan kajian menyeluruh soal sistem pengajaran di Perancis.
Ilmuwan eksentrik itu merupakan bagian dari upaya Macron mengubah jagat politik Perancis, menarik nonpolitisi untuk masuk ke parlemen. Upaya ini tergolong tidak lazim bagi Perancis yang tidak memiliki komite sains seperti AS.
Rekan Villani, Giuseppe Toscani, mengatakan, Villani sangat pintar menyimpulkan banyak hal. ”Dia mempunyai karakter untuk menjadi yang terbaik pada apa pun yang dilakoninya. Saya yakin dia akan memberi sumbangsih penting lewat kehidupan politiknya,” ujarnya.
Lulusan Ecole Normale Supérieure itu pernah memimpin Institut Henri Poincare, pusat pengkajian matematika. Ia menghabiskan bertahun-tahun mengupayakan matematika menjadi bagian kehidupan sehari-hari Perancis.
Ia mengklaim, Paris memiliki lebih banyak matematikawan dibandingkan kota mana pun di dunia. ”Apa yang bisa dilakukan orang Perancis agar lebih baik dibandingkan warga negara lain? Cinta, anggur, dan mengomel. Saya sarankan satu lagi, matematika,” katanya. (REUTERS/RAZ)