Dunia Semakin Rentan
Saat mantan agen rahasia Rusia, Sergei Skripal, dan putrinya, Yulia, masih bertarung melawan maut karena serangan racun, ketegangan diplomatik antara Rusia dan Inggris yang didukung oleh sekutunya semakin menguat. Setelah Inggris—negara tempat tinggal Sergei dan putrinya— bersama sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat mengusir lebih dari 130 diplomat, Kamis pekan lalu, giliran Rusia mengusir 150 diplomat asal Eropa dan AS.
Sebagaimana Washington mengusir 60 diplomat Rusia, Moskwa juga mengusir 60 diplomat AS. Sebagaimana Washington menutup Konsulat Jenderal Rusia di Seattle, Moskwa juga menutup Konsulat Jenderal AS di St Petersburg.
Seperti diwakili oleh dua kekuatan adidaya itu, ketegangan relasi Barat dan Timur belum menunjukkan penurunan. Sebaliknya, ketegangan dua kekuatan itu seolah-olah tengah mendorong dunia masuk dalam suasana seperti era Perang Dingin.
Merujuk pada tulisan ahli toksikologi lingkungan Universitas Leeds, Inggris, Profesor Emeritus Alastair Hay, berjudul ”Novichok: The Deadly Story Behind the Nerve Agent in Sergei Skripal Spy Attack” yang diunggah di www.independent.co.uk— sebelumnya pada theconversation.com—sejak Januari 1993, lahir konvensi yang melarang pengembangan, penggunaan, hingga penyimpanan, termasuk mengirim senjata kimia.
Konvensi itu kemudian menjadi hukum internasional pada 1997 setelah diratifikasi oleh 65 negara. Saat ini sebanyak 192 negara—termasuk Indonesia—telah meratifikasi konvensi itu.
Menurut Hay, lahirnya senjata kimia dimulai pada tahun 1036 ketika ahli kimia Jerman, Gerhard Schrader, berhasil membuat sintesis kimia yang menghasilkan gas saraf bernama Tabun. Sintesis kimia itu ditemukannya ketika membuat kajian pada senyawa organofosfat yang diharapkan menghasilkan insektisida yang cocok untuk meningkatkan hasil panen. Namun, alih-alih cocok untuk pertanian, senyawa itu justru sangat beracun. Setahun kemudian, Schrader mengembangkan gas saraf lain yang lebih beracun, yaitu sarin.
Nazi nyaris menggunakan gas-gas saraf itu dalam Perang Dunia II. Namun, langkah itu urung dilakukan. Menurut Schrader, Jerman khawatir Sekutu akan menggunakan senjata yang sama atas Jerman. Berlin, termasuk Schrader, yakin Sekutu juga memiliki senjata kimia. Faktanya, tidak.
Justru setelah Jerman kalah, Inggris, AS, dan Uni Soviet memperoleh akses pada pengetahuan tentang senjata kimia yang dikembangkan Nazi. Sejak era itu, senjata kimia terus dikembangkan hingga melahirkan berbagai senyawa kimia berbahaya lain, termasuk VX, racun yang diduga digunakan untuk membunuh Kim Jong Nam, saudara seayah Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, pertengahan Februari 2017, di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia.
Di bawah Konvensi Pelarangan Senjata Kimia dan pengawasan Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPWC) ada 20 senyawa kimia—termasuk sarin yang digunakan Irak menyerang warga Kurdi di Halabja tahun 1988—yang dilarang dan harus dihancurkan. Sayang, Novichok tidak termasuk di dalamnya. Menurut Hay, senyawa kimia yang dikembangkan di era Soviet itu tidak dideklarasikan saat konvensi disepakati.
Akan tetapi, merujuk konvensi itu yang mengikat negaranegara yang tidak turut meratifikasinya, apa pun juga senyawa kimia yang dikembangkan dengan tujuan menjadi senjata pemusnah massal adalah terlarang. Senyawa itu tidak boleh dipindahkan, bahkan digunakan.
Namun, faktanya transportasi senjata kimia itu tetap terjadi. Serangan atas Kim Jong Nam dan Skripal menunjukkan, senyawa kimia itu telah dipindahkan dari tempat penyimpannya ke ruang-ruang publik dan digunakan untuk mencederai sasaran. Yulia dan seorang polisi Inggris yang terimbas dalam serangan di Salisbury atau Doan Thi Huong dan Siti Aisyah, terdakwa dalam kasus serangan Kim Jong Nam di Kuala Lumpur mungkin hanya menjadi korban ikutan. Akan tetapi, fakta bahwa serangan ada sangat mengkhawatirkan.
Jika merujuk sejarah muncul dan berkembangnya senjata kimia sebagaimana dikemukakan Hay, seperti sebuah ironi. Negara-negara yang saat ini bersitegang adalah mereka yang sejak awal memiliki akses pada temuan awal senyawa kimia—cikal bakal senjata kimia—yang dikembangkan Schrader.
Sebagai bagian dari kekuatan adidaya, negara-negara besar itu sejatinya mengemban tanggung jawab lebih besar untuk membuat dunia lebih aman, bukan sebaliknya, menjadikannya semakin rentan. (B Josie Susilo Hardianto)