Para awak kapal ikan Salvatore 6 dan berbendera Malta itu ditangkap kelompok bersenjata pada 23 September 2017 di antara Malta dan Libya. Mereka adalah Roni Wiliam dari Jakarta serta Joko Riyadi dari Blitar, Jatim. Awak lainnya, Fahrianto, Saifudin, Waskida, dan M Abudi, berasal dari Tegal, Jawa Tengah.
Penculik membawa mereka dari laut menuju Benghazi, Libya, yang dikendalikan milisi. Kedutaan Besar RI di Roma, Italia, yang wilayah pelayanannya termasuk Malta, menghubungi Jakarta dan pihak terkait setelah menerima informasi mengenai penculikan itu. ”Sejak itu, kontak terus dilakukan dengan pemilik kapal dan keluarga,” ujar Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Upaya berkomunikasi dengan para penculik tak mudah diwujudkan. Situasi Libya yang dilanda perang menciptakan tantangan secara politik dan keamanan. Kelompok bersenjata di Benghazi tidak mengakui pemerintahan Libya di Tripoli, ibu kota Libya.
”Begitu menguasai kapal, mereka (penculik) merampas semuanya, seperti peralatan komunikasi, lemari es, dan barang-barang milik awak kapal. Kondisi Benghazi yang dilanda perang membuat orang-orang di sana mengambil apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu Lalu M Iqbal.
Bisa kontak
Kontak langsung antara pemerintah dan para awak kapal baru bisa dilakukan pada Desember 2017. Penculik bersedia memberi akses komunikasi kepada anak buah kapal setelah pemerintah berdialog selama berbulan-bulan dan meminta bukti para korban dalam keadaan sehat.
Pada Maret 2018, ada titik terang mengenai upaya pembebasan para sandera. Karena itu, Iqbal dan tim pembebasan terbang ke Tunisia pada 23 Maret 2018 untuk menjemput para korban.
Tim hanya bisa pergi ke Tunisia karena penerbangan internasional terdekat ke Libya adalah ke negara itu. Di Tunisia sudah ada tim dari KBRI Tripoli yang bergabung dengan tim Iqbal untuk menuju Benghazi. Perjalanan darat selama 12 jam dan penerbangan selama beberapa jam harus dilewati di daerah perang itu. ”Sampai hari kedua tak ada kesepakatan di mana sandera akan diserahkan. Pada hari ketiga baru ada kesepakatan lokasi penyerahan, yakni di pelabuhan ikan,” ujar Iqbal.
Seorang korban, Roni, mengatakan, mereka berpindah tempat dua kali. Saat baru tiba dari laut, mereka disekap dalam peti kemas. Sepekan di sana, mereka dipindah ke kapal ikan di Beng-
hazi. ”Setiap hari, kami mendengar (suara) perang. Jaraknya mungkin 2 kilometer dari tempat kami disekap,” ujarnya.
Para sandera kerap harus mencari makanan sendiri. Kiriman makanan dari pemilik kapal kerap disita oleh para penculik. ”Pada Januari 2018, penjaganya ganti, sudah agak baik. Seminggu sekali kami bisa kirim kabar ke keluarga,” ucapnya.
Dengan pembebasan mereka, sudah 8 WNI lepas dari sekapan kelompok bersenjata. Sebelumnya, 2 WNI dibebaskan penculik di Filipina. Kini, masih ada 3 WNI yang disekap di Filipina sejak 2016. (RAZ)