Turki-Rusia Semakin Erat di Tengah Konfrontasi dengan Barat
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
ANKARA, SENIN -- Sama-sama dihadapkan pada situasi hubungan yang tidak nyaman dengan Barat, Turki dan Rusia kian mempererat hubungan di antara mereka. Presiden Rusia Vladimir Putin, Selasa (3/4), berkunjung ke Turki dan, bersama Presiden Recep Tayyip Erdogan, akan meresmikan peletakan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir buatan Rusia di Akkuyu, pantai Laut Tengah.
Keesokan harinya, kedua pemimpin itu menggelar pertemuan puncak dengan Presiden Iran Hassan Rouhani untuk membicarakan isu Suriah.
Rusia saat ini mengalami ketegangan diplomatik dengan Barat terkait kasus peracunan mantan agen rahasia negeri itu di Inggris. Hal sama dialami Turki. Hubungan Ankara dengan Barat juga memburuk terkait isu hak asasi manusia dan operasi militer Turki melawan Kurdi di Suriah.
Mengetepikan rivalitas
Turki dan Rusia mengetepikan rivalitas tradisional kedua negara dan perbedaan-perbedaan dalam isu-isu regional guna menancapkan hubungan ekonomi yang kokoh. Desember lalu, kedua negara mencapai kesepakatan bahwa Turki bisa membeli sistem pertahanan rudal jarak jauh Rusia S-400. Negara-negara mitra Turki di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dibuat tercengang oleh kesepakatan itu.
Turki dan Rusia saat ini juga sedang menjalin kerja sama pembangunan jalur pipa "Turkstream" untuk menyalurkan gas Rusia ke Turki.
"Hubungan Rusia-Turki sedang dalam situasi yang lebih bagus, dibandingkan dua tahun sebelumnya. Kedua pihak bekerja sama," kata Mitat Celikpala, profesor hubungan internasional di Universitas Kadir Has, Istanbul.
"Mereka mampu memilah-milah isu," lanjut Celikpala, merujuk pada isu pembagian pulau Siprus dan aneksasi Rusia ke Crimea tahun 2014. "Jika Anda kesampingkan isu-isu itu, kedua negara adalah mitra yang baik terkait kepentingan langsung."
Hubungan hangat antara Rusia dan Turki saat ini berlangsung saat hubungan antara Turki dan negara-negara Uni Eropa (UE) juga semakin tegang.
Keinginan Turki menjadi anggota UE terganjal. Banyak negara UE menyampaikan kekhawatiran terhadap makin otoriternya pemerintahan Turki serta pemberangusan hak asasi manusia dan kebebasan di negeri itu, khususnya pasca kudeta yang gagal tahun 2016. Sebaliknya, Turki menuduh UE mendukung pemberontak Kurdi dan para pelaku upaya kudeta tahun 2016.
Hubungan Turki dengan AS lebih buruk lagi. Ankara menuding Washington menampung ulama Fethullah Gulen, yang dituduh Turki berada di balik kudeta yang gagal, dan mendukung milisi Kurdi Suriah, yang dianggap teroris oleh Ankara.
Pekan lalu, Turki mengumumkan, mereka tidak akan ikut-ikutan para mitranya di NATO dan UE, yang mengusir para diplomat Rusia terkait skandal peracunan mantan agen rahasia Rusia di Inggris. Ankara mengecam serangan zat racun mematikan di wilayah Inggris, tetapi tidak menyebut Rusia. "Hanya karena beberapa negara mengambil tindakan sesuai tuduhan, kami tidak akan mengambil langkah serupa," kata Erdogan. (AP)