AS dan China Saling Tergantung
HANYA Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang meributkan hubungan baik ekonomi AS-China. Ini didukung penasihatnya, Peter Navarro, yang nasionalistik, pembenci China, tetapi dengan pandangan dangkal. Hubungan ekonomi begitu dalam dan baik pada dasarnya. Maka, Presiden China Xi Jinping pernah berkata, kolaborasi adalah pilihan terbaik.
Pada 16 Januari 2018, Presiden Xi kembali berinisiatif menelepon Trump. ”Langkah konstruktif adalah cara terbaik untuk pendalaman hubungan, sekaligus menjadi cara terbaik untuk mengatasi persoalan ekonomi dan perdagangan yang ada,” demikian pesan Presiden Xi.
China cukup sabar dan sangat realistis melihat kedalaman hubungan ekonomi. ”Pemerintah China lebih realistis melihat kedalaman hubungan ekonomi,” kata David Marsh, Direktur Pelaksana OMFIF (perusahaan pengelola aset), kepada CNBC, 3 April 2018. Menurut Marsh, China memahami kekuatan dan kemampuannya menekan AS, tetapi menghindari itu sebisa mungkin.
Eksodus tiga dekade
Kedalaman hubungan ekonomi kedua negara adalah hasil eksodus korporasi AS ke China selama tiga dekade hingga 2014. Hal ini menjadi penelitian berbagai ekonom. Pada 10 Juli 2017, Yevgenia Nayberg dari Kellogg School of Management, Northwestern University, menyatakan bahwa upah buruh murah menjadi salah satu penyebab eksodus korporasi AS ke China.
Ada eksodus yang konstan selama tiga dekade dan melambat mulai 2014 setelah China ingin meninggalkan status sebagai basis manufaktur global. Setelah Jinping berkuasa, ada niat beralih dari basis manufaktur ke produk berbasis teknologi. Saat bersamaan mulai terjadi aksi perusahaan yang kembali ke AS, tetapi lebih dari 50 persen masih memilih bertahan di China.
Hal sama dinyatakan lewat penelitian The Boston Consulting Group dalam laporan per 10 Desember 2015. Ada 30 persen responden lewat survei yang menyatakan akan balik ke AS karena upah buruh di China naik. Namun, 20 persen dari responden malah akan menambah kapasitas produksi di China dan lainnya belum ada rencana.
Bergeming
Heboh hubungan AS-China, termasuk rencana China mengenakan tarif impor otomotif asal AS, demikian juga AS terhadap China, tidak atau belum mengubah sikap perusahaan otomotif AS yang berbisnis di China. Di Detroit, Patrick Morrissey dari Humas General Motors (GM) mengatakan terlalu dini berbicara soal relokasi. GM membuat dan menjual mobil di China dengan jumlah yang lebih banyak ketimbang di AS. Pihak dari Ford Motor Co pun menyarankan lebih baik kedua pemerintahan berunding. Ford pun menyatakan belum realistis berbicara soal relokasi pabrik dari China ke Meksiko.
Di Bloomberg edisi 16 November 2016, Thilo Hanemann, ekonom dari Rhodium Group, menegaskan bahwa integrasi ekonomi AS-China jauh lebih dalam dari perkiraan banyak orang. Rhodium Group adalah perusahaan konsultan perdagangan dan investasi. ”Oleh karena itu, jika ada tindakan proteksionisme, biaya yang muncul lebih besar daripada perkiraan orang,” katanya.
Dia menambahkan, data sepanjang 1990-2015 memperlihatkan aliran investasi bilateral kedua negara lebih besar daripada data resmi. Hampir 6.700 investasi AS di China sepanjang periode itu memiliki nilai investasi 228 miliar dollar AS atau 75 miliar dollar AS lebih banyak daripada data Departemen Perdagangan AS dan 70 miliar dollar AS lebih banyak daripada badan serupa di China.
Daya tarik
Upah buruh masih lebih murah di China. Ini dikombinasikan dengan kecekatan para pekerja serta infrastruktur yang baik demi kelancaran peredaran barang dan jasa. Ini yang membuat China menjadi magnet bagi investasi AS.
Hal lain, China memiliki pasar yang besar. Investor AS ingin langsung berada di pasar China. David Rosnick dan Dean Baker menerbitkan laporan berjudul ”The Wealth of Households: An Analysis of the 2016 Survey of Consumer Finance”. ”Kekayaan 125 juta keluarga AS kalah daripada 250 juta keluarga China yang tinggal di perkotaan,” demikian kutipan di laporan itu.
Pada 27 Agustus 2016, The Business Insider menuliskan warga perkotaan China sebanyak 730 juta pada 2015. Dan berdasarkan perkiraan konservatif, pada 2020 minimal ada 550 juta warga kelas menengah di China. Pasar China sangat menggiurkan dari segi potensi penjualan.
Dari daftar penjualan 20 besar korporasi AS yang berbisnis di China sepanjang 2017, tiga urutan teratas perusahaan dengan persentase penjualan terbesar di China yaitu Skyworks Solutions Inc (82,7 persen dari 3,651 miliar dollar AS total penjualan global), Qualcomm Inc (65,4 persen dari 22,291 miliar dollar AS), dan Qorvo Inc (62 persen dari 3,033 miliar dollar AS).
Wajar jika korporasi AS berpikir untuk bertahan di China. Pasar China sangat menggiurkan. (AFP/AP/REUTERS/MON)