Pertarungan yang Turut Memicu Perang Dunia
Pengenaan tarif terkait langsung dengan upaya perlindungan pasar dalam negeri. Hal itu bertujuan mendiversifikasi pasar domestik atau memperbaiki neraca perdagangan. Namun, pembatasan aktivitas perdagangan seperti ini kerap memerlukan waktu, khususnya bagi industri di suatu negara yang pasarnya dilindungi, karena ingin memodernisasi diri dan menjadi lebih kompetitif di pasar.
Bahayanya tidak kalah besar, misalnya mitra dagang negara yang menerapkan tarif impor seperti AS akan membalasnya, dan mengganggu industri yang tidak mendapatkan perlindungan. Efek negatifnya lebih terasa menyakitkan, bukan hanya bagi satu negara, melainkan juga global.
Amerika Serikat pernah mengalami pahitnya hasil perang dagang itu. Pada akhir era 1920-an, memburuknya perekonomian domestik AS memunculkan gerakan petani negeri itu. Mereka melobi Kongres untuk menerapkan perlindungan tarif atas produk-produk pertanian. Langkah itu diikuti produsen di sektor lain. Mereka mendesak penerapan tarif atas para pesaingnya di luar negeri. Otoritas pun menaikkan tarif bagi lebih dari 20.000 jenis barang impor di aneka industri di AS. Aturan bernama Smoot-Hawley Tariff Act itu didorong bersama-sama oleh Partai Demokrat dan Progressive, bergabung dengan Partai Republik, pada 28 Oktober 1929. (International Business: The Challenge of Global Competition, Ball, Geringer, McNett, dan Minor)
Tepat hari itu juga, pasar saham AS jatuh, dengan penurunan tajam 12 persen. Dalam sekian bulan, 34 pemerintahan di dunia memprotes Smoot-Hawley. Namun, aturan itu akhirnya tetap ditandatangani Presiden Herbert Hoover.
Sebuah perang dagang secara global tidak terelakkan. Negara-negara Eropa menerapkan pajak tinggi bagi produk-produk AS. Akibatnya, perdagangan AS dan Eropa melambat. Perdagangan dunia rontok dari 5,7 miliar dollar AS pada tahun 1929 menjadi hanya 1,9 miliar dollar AS pada tahun 1932. Akibat turunannya tidak kalah pelik. Tingkat pengangguran melesat dan dunia mengalami depresi hingga satu dekade setelahnya.
Kondisi itu memanas karena satu negara menuduh negara lain sebagai penyebab. Para sejarawan pun menilai kondisi itu turut memicu munculnya Nazi dan partai fasis lain di Barat. Perang dagang pun secara tragis menjadi perang fisik besar-besaran, Perang Dunia II.
Peringatan atas risiko
Terkait kebijakan Presiden Donald Trump, para ekonom pun telah memperingatkannya. Jika tindakan itu terlalu jauh alias kelewatan dan dibalas negara lain, perang dagang terjadi dalam skala luas, risikonya pun menimpa perekonomian global. Secara global sejatinya ada semacam kesepakatan bahwa tidak ada satu pihak pun yang dimenangkan dari sebuah kondisi perang dagang.
Dalam skala lebih kecil, AS pernah melakukan itu dan merasakan konsekuensinya. Menurut CNBC, pada era 1980-an, Presiden Ronald Reagan menerapkan tarif atas sejumlah produk Jepang. AS dan Uni Eropa juga pernah terlibat perang dagang dengan subyek komoditas pisang. Aneka ancaman dan tarif mengemuka di Atlantik. Menurut catatan The New York Times, dinamika itu mengemuka setelah ada desakan dilakukannya perdagangan bebas atas pisang di Kosta Rika pada tahun 1991, yang berujung perang dagang AS dan UE.
Penerapan tarif atas baja juga pernah dilakukan Presiden George W Bush pada tahun 2002. Ancaman balik diserukan mitra dagang AS di Eropa. Bush pun luluh dan menghentikan penerapan tarif itu.
Melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), aturan lebih ketat terkait tarif dibuat pada era ’90-an. Kala itu ”perang pisang” dilihat sebagai ujian terhadap keberlanjutan WTO mengingat Eropa dan AS ”berperang” atas kondisi bisa tidaknya Eropa memilih pasokan pisang yang didatangkan dari sejumlah koloni di Afrika, Kepulauan Karibia, dan Pasifik.
Sejarawan Universitas Exeter, Inggris, pengarang buku The ’Conspiracy’ of Free Trade mengatakan, jawaban paling mudah diucapkan terkait perang dagang adalah tidak ada pihak yang menang bagi mereka yang terlibat. ”Namun, semakin saya merefleksikannya, tampaknya para pemenang adalah negara yang tak terlibat di dalamnya,” kata sejarawan yang meneliti rivalitas AS-Kerajaan Inggris abad ke-19 itu kepada The New York Times.
Pada abad ke-19 saat terjadi perang dagang antara Kanada dan AS, menurut Palen, yang mengambil keuntungan adalah Inggris. Kala itu, akibat sengitnya persaingan Kanada-AS, ekspor Montreal ke Washington pun anjlok. Kanada mengalihkan pasarnya ke Inggris sehingga London meraih surplus yang relatif besar.
Contoh pemenang lain atas kondisi perang dagang, yang notabene bukan pelaku perang dagang, adalah Uni Soviet. Negeri yang terpukul dalam persaingan dengan mitra dagang Barat pascarevolusi 1917, bangkitnya komunisme dan tertekan dalam kebijakan mata uangnya itu meraih keuntungan besar dari penerapan The Smoot-Hawley. Itu terjadi setelah sejumlah negara, seperti Italia, meninggalkan barang impor dari AS dan mempertahankan jalinan perdagangan dengan Soviet sebagai mitra tetapnya hingga kini.
John Conybeare, profesor emeritus ilmu politik di Universitas Iowa yang juga pengarang buku Trade Wars mengatakan, pelajaran berharga dari konflik di bidang perdagangan antarnegara adalah jika di dalamnya terdapat disparitas kekuatan ekonomi di antara dua negara. Negara yang lebih kuat kemungkinan akan menang. Hal seperti itulah yang mungkin saja dipikirkan Trump sebelum menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari China ataupun bernegosiasi dengan mitra AS di luar China yang masuk dalam daftar pengecualian penerapan tarif impor.
Di sisi lain, negara-negara yang pasarnya jauh lebih kecil, di negara-negara yang merasa lemah, bisa saja mengambil langkah sebaliknya. Hal itu tidak berlaku bagi negara seperti China ataupun kelompok negara Uni Eropa. Kecenderungan negara yang sama besar pasar domestiknya, juga kuat sebagai basis produksi, kemungkinan merasa setara dengan lawan ataupun calon lawannya. Hal itu, menurut Conybeare, tidak bisa dianggap remeh. ”Tanpa disparitas besar dalam kekuatan ekonominya, masing-masing pihak akan kalah,” tambah Conybeare. (BENNY D KOESTANTO)