Lima tahun lalu, Marivic Dubria—petani di Mindanao, Filipina selatan—terpaksa membeli kopi sachet Nescafe untuk melayani tamunya. Ia malu dengan kualitas kopi yang dia tanam. Kehidupan keluarganya di pulau terbesar kedua di Filipina itu sangat keras. Penghasilan keluarganya hanya 1.000 dollar AS (Rp 13,5 juta) setahun dari panenan kopi. Biji kopi mereka hanya dihargai 20 sen dollar AS (Rp 2.700) per kilogram oleh pedagang lokal.
Kini, kehidupan Dubria mulai berubah. Perubahan ini terjadi setelah ia ditangani oleh Coffee for Peace (CfP), perusahaan sosial yang bertujuan meningkatkan penghasilan petani, melindungi lingkungan, dan menumbuhkan perdamaian masyarakat.
Melalui CfP, petani mempelajari cara merawat, memanen, dan memproses kopi Arabica kualitas terbaik. Permintaan kopi di seluruh dunia kini melonjak. Dubria pun mengekspor biji kopinya kepada pembeli di Seattle, Amerika Serikat, dengan harga 5 dollar AS (Rp 67.500) per kilogram. ”Tetapi, ini semua bukan hanya soal uang. Ini juga tentang bagaimana kita bertanggung jawab pada lingkungan dan masyarakat,” kata Dubria di rumahnya, di Gunung Apo.
Mendorong dialog
Selain membantu para petani kopi mendapatkan harga yang lebih baik, CfP juga bertujuan mendorong dialog di antara masyarakat yang sebelumnya dilanda konflik antara warga asli dan pendatang terkait sengketa tanah dan sumber daya alam.
Kini, Filipina tengah membangun kembali Mindanao yang bertahun-tahun dilanda berbagai konflik, seperti serangan kelompok yang berafiliasi pada milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), lima dekade pemberontakan komunis, dan gerakan separatis memaksa dua juta warga mengungsi.
Pakar industri mengatakan, untuk membangun kembali Mindanao, warga harus diajak bekerja sama melalui perdagangan dan bisnis dengan misi membangun perdamaian.
”Usaha sosial menyediakan jalan atau pendekatan untuk penyelesaian konflik,” kata Angel Flores, Kepala Bisnis Asia Timur British Council, yang mendukung perusahaan yang ingin membantu warga, berinvestasi melestarikan lingkungan, dan mengatasi masalah sosial.
”Menjadi inklusif, partisipatif, dan mengutamakan manfaat bagi masyarakat di atas keuntungan pribadi akan meningkatkan tenun sosial dari sebuah tempat yang diwarnai ketidakpercayaan menjadi... kepercayaan dan saling pengertian,” kata Flores.
CfP didirikan pada 2008 saat konflik melanda Mindanao. Pendiri CfP mengajak warga yang bertikai, karena memperebutkan sawah, untuk berdamai dan meletakkan senjata. Warga lalu diajak berbincang tentang kopi. Tradisi baru ini menyebar ke seluruh wilayah Mindanao.
CfP menawarkan skema tiga tahun untuk melatih para petani guna menghasilkan kopi yang lebih baik. Mereka juga mendorong warga asli dan pendatang untuk memanen dan memproses biji kopi bersama-sama.
”Kami tidak memperlakukan mereka sebagai pemasok atau bagian dari rantai, tetapi sebagai petani pengusaha,” kata Wakil Presiden CfP Twinkle Bautista. ”Tujuannya, mempersatukan warga pendatang dan warga asli untuk saling mengajar satu sama lain, membagikan teknik dan alat, serta menciptakan harmoni. Produk kami adalah perdamaian, dan kopi hanyalah alat,” katanya. (Thomson Reuters Foundation/LOK)