NUSA DUA, KOMPAS — Indonesia membuat keputusan untuk mulai mencari peluang kerja sama ekonomi di Afrika. Benua itu menawarkan banyak potensi bagi Indonesia.
”Indonesia-Africa Forum di Bali adalah awal bagus untuk membuka potensi itu. Tentu saja diperlukan banyak tindak lanjut untuk memanfaatkan potensi besar Afrika,” kata Ahmad Helmy Fuady, peneliti kajian Afrika pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (9/4/2018), saat dihubungi di Jakarta.
Helmy mengatakan, Indonesia-Africa Forum (IAF) 2018 di Nusa Dua, Bali, mulai Selasa (10/4) hingga Rabu, merupakan batu loncatan penting bagi Indonesia untuk masuk benua yang sedang membuka diri itu. ”Afrika sedang dalam awal masa perkembangan. Industri di sana masih tahap awal dan banyak negara di sana sangat terbuka pada investasi asing. Bahkan, Rwanda sampai disebut Singapura versi Afrika karena sangat terbuka pada investasi asing,” ujarnya.
Direktur Afrika pada Kementerian Luar Negeri Daniel Tumpal Simanjuntak mengatakan, perwakilan dari 43 negara Afrika dipastikan hadir dalam IAF 2018. Selain utusan pemerintahan, perwakilan pengusaha dari banyak negara juga siap hadir. Sejumlah kesepakatan kerja sama akan ditandatangani. Selain itu, disediakan pula forum-forum diskusi untuk menjelaskan potensi ekonomi di Afrika.
Negara-negara Afrika membutuhkan banyak investasi untuk memacu perekonomian mereka, membuka lapangan kerja, dan memenuhi aneka kebutuhan mereka. Afrika disebut ”Benua Muda” karena 30 persen populasinya berusia kurang dari 30 tahun. Saat ini ditaksir ada 240 juta penduduk usia 15 tahun hingga 24 tahun di benua itu. Bahkan, di Uganda, Chad, Niger, Angola, Somalia, Zambia, Mali, dan Malawi, 66 persen penduduknya berusia kurang dari 25 tahun. Penduduk usia muda menjadi pasar sekaligus sumber tenaga kerja yang besar.
Terlambat
Helmy mengatakan, Indonesia sebenarnya terlambat masuk Afrika. Sejumlah negara Asia sudah lebih dahulu menggarap berbagai kerja sama ekonomi dengan negara-negara Afrika. Padahal, Indonesia punya modal hubungan amat baik dengan banyak negara Afrika. Modal itu, antara lain, dihasilkan lewat Konferensi Asia Afrika (KAA). ”Boleh disebut, justru China yang memanfaatkan KAA untuk membuka peluang di Afrika. Saat ini, banyak sekali aktivitas ekonomi China di sana,” ujarnya.
Negara lain yang agresif di Afrika adalah Korea Selatan dan Jepang. Malaysia juga sudah menggarap Afrika. Sebaliknya, Indonesia baru menunjukkan keseriusan menggarap Afrika sekarang. ”Memang sudah ada beberapa perusahaan Indonesia berinvestasi di sana,” kata Helmy.
Ia menyarankan, Indonesia melakukan sejumlah hal untuk mempercepat masuk Afrika. Dari sisi pemerintah, Indonesia perlu menambah perwakilan di Afrika. Kini, satu KBRI di Afrika bisa melayani hingga 7 negara. Padahal, jumlah diplomat di setiap KBRI itu amat terbatas. ”Sulit mengharapkan mereka bisa mengurus banyak hal di banyak negara,” ujarnya.
Kondisi itu menyulitkan calon pengusaha Afrika yang membutuhkan informasi soal Indonesia. Sementara calon pengusaha Indonesia akan kesulitan mencari data dan pelayanan KBRI karena KBRI menangani urusan di beberapa negara.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah memperbanyak kajian soal Afrika sebab pemahaman Indonesia soal Afrika rendah dan kerap salah. ”Di LIPI, tiga tahun terakhir ada kajian Afrika. Secara personal, saya mendalaminya sejak 10 tahun lalu. Kajian ini penting agar tahu seperti apa sebenarnya Afrika,” kata Helmy.
Daniel mengatakan, investasi di Afrika bisa menguntungkan Indonesia dan memperbesar kapasitas ekonomi Indonesia. Negara-negara maju bisa punya produk nasional bruto besar karena kegiatan produksinya disebar di banyak negara. ”Investasi Jepang di Indonesia, Thailand, atau negara-negara lain dihitung sebagai produk nasional bruto. Karena itu, produk nasional bruto Jepang dan beberapa negara lain besar. Indonesia berpeluang mencapai itu dengan memanfaatkan potensi di Afrika,” ujar Daniel. (RAZ)