Dunia Mendambakan Kolaborasi AS-China
Pada hari Minggu lalu, AS terkesan sudah mulai mengendor dalam perang dagang dengan China. Presiden Donald Trump menyanjung Presiden China Xi Jinping dan menyebutnya sahabat dan perunding hebat. “Para pejabat Trump melembutkan nada tentang sengketa dagang dengan China,” demikian judul artikel di harian AS, The Wall Street Journal, Minggu (8/4/2018).
Direktur Dewan Penasihat Ekonomi Nasional AS Larry Kudlow, pada hari itu menegaskan, belum ada tarif yang dikenakan pada semua impor dari China. Ini salah satu sinyal pengendoran sikap AS.
Beda dengan sebelumnya, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin sempat mengatakan ada risiko perang dagang (Jumat, 6/4/2018). Dua hari kemudian, menteri yang sama menyebutkan tidak mengharapkan adanya perang dagang. “Tujuan kami adalah melanjutkan diskusi dengan China,” kata Mnuchin.
Tentu tuduhan bahwa China mencuri teknologi, biang keladi defisit perdagangan, tetap diarahkan. Hanya saja Kudlow menyatakan Presiden Trump berubah sikap soal potensi perang dagang. “Saya dan Presiden pro-perdagangan bebas,” kata Kudlow.
Apakah China juga melembut dan kini lebih akomodatif setelah perubahan nada AS? China tampaknya tetap berang. Perundingan sengketa dagang sepertinya sedang tertutup dari pihak China. Ada nuansa, China sedang memberi pelajaran setelah sekian lama dihantam. Juga ada nuansa bahwa China meminta pemerintahan Trump bersikap jelas, bukan seperti seseorang yang sedang terkena gangguan kecemasan (anxiety disorder).
“Di satu sisi AS tetap menyuarakan sanksi (dagang), dan saat bersamaan menyatakan ingin bernegosiasi. Saya tidak bisa memastikan siapa pihak dari AS yang paling menentukan.… Dengan kondisi sekarang tidak mungkin ada pembicaraan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, Senin (9/4/2018), di Beijing.
Tampaknya AS sedang menghadapi jalan buntu. Menkeu AS Mnuchin mencoba menghubungi Beijing, tetapi dilayani pejabat yang tidak setara, yakni Wakil Menkeu China Zhu Guangyao.
Seorang mantan diplomat China, Senin, mengindikasikan Beijing belum bersedia bernegosiasi. “Berdasarkan pemahaman saya, tidak ada rencana perundingan apa pun,” kata Ruan Zongze, Wakil Presiden Eksekutif Chinese Institute of International Studies . “China akan bertarung,” katanya seperti dikutip situs Bloomberg, 9 April 2018.
Jawaban jelas
AS dan pemerhati sengketa ekonomi AS-China ini menantikan jawaban China atas kelembutan sikap AS. Pidato Presiden China Xi Jinping di “Baoa Forum on Asia”, di Baoa, Provinsi Hainan, Selasa (10/4/2018), secara implisit menunjukkan penolakan pada proteksionisme.
Xi mengatakan reformasi dan pembukaan ekonomi sejak 1978 telah menciptakan babak yang menggembirakan dalam pembangunan ekonomi. China selama empat dekade telah meningkatkan produktivitas lewat kerja keras. China melajutkan itu semua dengan nilai sosialisme disertai nyali sebagai pionir.
Presiden Xi melanjutkan, warga China akan terus melangkah maju dan memperlihatkan kekuatan negara dan terus berpacu dengan waktu serta aktif berkontribusi pada dunia. “Sekarang China dapat menyatakan dengan kebanggaan besar bahwa reformasi, revolusi kedua jika bisa disebut demikian, tidak saja mengubah negara secara mendasar tetapi juga secara signifikan memengaruhi dunia,” kata Xi. Dia menambahkan selama empat dekade China berhasil membangkitkan 700 juta warga dari kekurangan dan kemiskinan.
Jawaban Xi jelas menyiratkan kelanjutan keterbukaan dan pendalaman pembangunan. Ini bisa disimpulkan sebagai indikasi penolakan keras pada proteksionisme. Nada pembicaraan di “Boao Forum for Asia” yang dibuka pada hari Minggu (8/4/2018), juga menyuarakan kelanjutkan liberalisasi dan keterbukaan global.
“Baoa Forum for Asia” yang digelar Pemerintah China, menjadi ajang untuk menyerang secara tak langsung kebijakan proteksionisme AS di bawah Trump. “Langkah-langkah proteksionisme tidak pernah bermanfaat dan hanya kebijakan yang saling terbuka menjadi jalan bagi kemakmuran Asia dan global,” demikian kata Zhang Yuyan, Direktur Institute of World Economics and Politics, Chinese Academy of Social Sciences.
Sejak awal April 2018 China bereaksi lebih keras setiap kali ada aksi dari AS. Ini berbeda dari keadaan sebelumnya dimana pihak China mencoba menjaga situasi agar tidak memburuk. “Saya harus mengatakan bahwa kami telah dipaksa mengambil tindakan. Sebelumnya kami selalu mencoba menahan diri,” kata Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen, menurut kantor berita Xinhua, Minggu.
Kelembutan nada AS muncul di hari Minggu setelah China meningkatkan tensi serangan. China dalam beberapa hari terakhir mengatakan tidak akan ada negosiasi jika ancaman tetap ada. Intinya semua ancaman itu harus dibuang total sebelum perundingan dimulai.
Langkah-langkah proteksionisme tidak pernah bermanfaat dan hanya kebijakan yang saling terbuka menjadi jalan bagi kemakmuran Asia dan global.
Naik pitam
China tampaknya sedang naik pitam. Semua ini berawal dari rencana AS mengenakan tarif tambahan pada impor baja dan aluminium asal China. Ini telah disampaikan Presiden Trump pada 8 Maret 2018. Serangan Trump terhadap China sudah mencuat sejak kampanye dan terus berulang hingga tiap saat mewarnai media dunia.
Melihat keadaan agak serius, China sempat mencoba jalur diplomasi. Presiden Xi mengirimkan utusan ekonomi, Liu He, ke Washington di akhir Februari 2018. Saat itu Liu datang untuk menawarkan perundingan baru. Beijing siap membuka pasar uangnya, salah satu sektor yang diinginkan AS untuk dibuka bagi korporasi AS.
Jangan lupa AS hanya menuntut tindakan yang menyenangkan dirinya, bukan menuntut rezim perdagangan multilateral, yang berlaku bagi semua.
Saat tiba di Washington, Liu He menerima sambutan tak ramah, seperti dituliskan harian The Wall Street Journal edisi 8 April 2018. Sebelum kunjungan itu Kedutaan Besar China telah memohonkan 40 visa sehingga Liu bisa membawa tim penuh. Namun, Departemen Luar Negeri AS hanya mengabulkan beberapa visa.
Dalam kunjungan itu Liu tidak diberi waktu bertemu Presiden Trump padahal dia utusan Presiden Xi. Dia hanya bertemu Kepala Perwakilan Dagang (United States Trade Representative/USTR) Robert Lighthizer, penasihat ekonomi Trump Gary Cohn (mundur dan digantikan Larry Kudlow), serta Menkeu Steven Mnuchin. Liu mendapatkan jawaban simpel, “AS tidak akan terjebak seperti pemerintahan AS sebelumnya”.
Lighthizer menekan dan meminta China berubah, termasuk mencabut tarif impor 25 persen yang dikenakan atas impor otomotif AS. Padahal tarif ini dikenakan China setelah AS menghantam impor baja, aluminium dan ban mobil di era Presiden Barack Obama dengan tarif.
AS di bawah Trump pada umumnya menyudutkan China dan menyalahkan pemerintahan AS sebelumnya sebagai gagal menekan China.
Kepada Liu, saat itu AS menyatakan ingin ada pengurangan 100 miliar dollar AS dari total 375 miliar dollar AS defisit perdagangan AS terhadap China. Tuntutan ini disertai ancaman AS akan mengenakan tarif lajutan pada impor asal China jika Beijing tidak tunduk.
Ada juga dari pihak AS yang tidak setuju dengan cara ini. Cohn mundur karena tidak sepakat dengan pola tekanan terhadap China. Trump tidak surut dengan pengunduran diri Cohn dan menolak usulan Mendag AS Wilbur Ross, yang lebih halus dalam menghadapi China.
Ingin meniru Reagan
Trump memilih usulan Lighthizer dibantu penasihat dagang Trump, Peter Navarro. Dua tokoh ini selalu menyerang China. Di harian Ingris The Financial Times, Senin (9/4), Navarro menulis artikel dengan menjuluki China, “The Great Wall Denial” (Pengingkaran Tembok Besar). “Bukti sudah jelas bahwa ada perilaku tersembunyi Beijing yang juga proteksionis,” demikian Navarro.
Lighthizer, seorang ahli hukum perdagangan internasional, pada tahun 1985 sukses menekan Jepang. Lighthizer menyatakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bukan badan sakral dan tidak harus dituruti. Kepentingan AS dengan dasar hukum AS, itulah cara terbaik bagi kepentingan AS dalam perdagangan global. Inilah keyakinan Lighthizer.
Dulu Jepang tidak pernah menolak tekanan AS. Di tahun 1985 itu menjabat Wakil Kepala USTR. Bahkan dia berhasil menekan Jerman Barat (ketika itu) dan Inggris untuk berinvestasi di AS.
AS di bawah Trump mengingat sukses di tahun 1985 itu. Inilah dasar pemunculan kembali Lighthizer pada Mei 2017. Kali ini dia menjadi Kepala USTR.
AS mungkin lupa, China sesungguhnya belajar banyak dari pengalaman Jepang, yang sejak Plaza Accord 1985 di era almarhum Presiden Ronald Regan, terpuruk secara ekonomi termasuk karena tekanan AS.
Saat Trump memilih Lighthizer sempat muncul optimisme bahwa AS akan bisa menekan China. Saat bersamaan China sudah was-was. “Penunjukannya membuat saya khawatir karena akan muncul langkah kaku AS soal perdagangan dan investasi,” kata Wei Jianguo, mantan Mendag China (The New York Times, 13 Januari 2018).
Benturan budaya?
China dan AS berasal dari dua kultur yang berbeda. Bagi China sikap bicara menjadi salah satu simbol kesopanan. Negosiasi soal perekonomian juga tak lepas dari kesopanan berbicara dan tingkah polah. Hal ini tampak tidak dimiliki Trump dan juga Lighthizer. Kepala USTR ini disebutkan tidak ingin bernegosiasi alot apalagi dengan bahasa diplomasi meliuk-liuk. China menekankan diplomasi yang tidak berapi-api.
“Trump dan Lighthizer padu,” kata William Reinsch, seorang mantan pejabat perdagangan AS yang kini bekerja di Center for Strategic and International Studies (CSIS) AS. “Ada sebuah strategi bernegosiasi dengan ‘bullying’, intimidasi, dan ancaman hingga melembek. Kemudian, mungkin ada hasil,” kata Reinsch. Ini agak pas menggambarkan taktik AS terhadap China.
Jim Lighthizer saudara kandung Robert Lighthizer, seorang mantan politisi Demokrat memberi gambaran. “Pendekatakannya tembak langsung, tidak suka membuang waktu dengan bermain nuansa,” kata Jim soal Robert Lighthizer.
Pada November 2017 dengan rasa percaya diri tinggi dia mendarat di Beijing untuk perundingan. Pesan Trump saat itu, pastikan bisa bertemu dengan semua pejabat penting China. Lighthizer hadir untuk urusan dagang mendampingi rombongan Presiden Trump yang Presiden Xi di Beijing.
Dalam sesi dengan Presiden Xi, Lighthizer memaparkan betapa sia-sianya perundingan-perundingan masa silam. Dia menekankan betapa Presiden Trump sangat prihatin dengan defisit perdagangan yang terus meningkat terhadap China. Para pejabat AS melihat Lighthizer sebagai seorang pengacara yang berargumentasi dengan gaya uniknya. Akan tetapi, “Para pejabat China melukiskan reaksi mereka sebagai terkejut,” demikian The Wall Street Journal.
Aksi balas membalas
Sejak pertemuan itu China tampaknya bergeming pada setiap tuntuan AS. Lighthizer terus berkorespodensi dengan pejabat ekonomi Beijing yang isinya agar siap-siap dengan perang dagang. China membalas pada 1 April dengan rencana pengenaan tarif pada impor berbagai produk pangan dari AS senilai 3 miliar dollar AS.
Trump kemudian mengancam akan mengenakan tarif pada impor dari China senilai 50 miliar dollar AS, pada 2 April. Ini dibalas China lagi dengan ancaman akan mengenakan tarif pada impor dari AS senilai 50 miliar dollar AS.
China memiliki banyak senjata untuk ‘menembak’ demi melindungi kepentingan negara kapan pun diperlukan.
Pada hari Jumat (6/4/2018), Trump mengancam lagi dengan rencana pengenaan tarif tambahan pada impor dari China senilai 100 miliar dollar AS.
Di level ini China membalas lebih keras. Kantor berita China, Xinhua, Jumat itu menuliskan “China memiliki banyak senjata untuk ‘menembak’ demi melindungi kepentingan negara kapan pun diperlukan.”
Beda dengan AS, di mana Presiden Trump sangat suka berbicara, China tidak membalas lewat ucapan Presiden Xi. Pada umumnya China menjawab lewat humas Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri hingga para ekonom. Diduga kuat itu merupakan perpanjangan corong pemerintah dan semua itu dimuat di situs English China News Service (ecns.cn), milik negara.
“Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia, China seharusnya tidak diancam oleh AS,” kata He Weiwen, seorang anggota Dewan Eksekutif China Society for World Trade Organization Studies. “Tindakan balasan dengan skala yang sama akan menghasilkan efek serupa bagi AS,” lanjut He.
Berdasarkan kalkulasi, ancaman perdagangan AS bukan hal berat bagi China. “Sebab China mampu menahan konsekuensi dari perang dagang,” kata Wakil Menkeu China Zhu Guangyao.
Seorang komentator China tentang masalah terkini, Einar Tangen, menyebutkan, ”Pengumuman terbaru (soal ancaman tarif terhadap impor senilai 100 miliar dollar AS) menandakan tidak ada sikap mundur AS. Demikian pula China tidak akan bisa di-‘bully’ agar mau bernegosiasi dan kemudian dihantam oleh Trump. Ini semua adalah masalah yang sebenarnya bisa dibahas lewat perundingan tetapi perundingan tidak perlu dilakukan lewat ancaman.”
Semua ucapan dari pihak China menandakan AS telah melanggar garis merah. China bahkan menekankan, buang dulu ancaman baru berunding. Hal ini disampaikan oleh Gao Feng, jubir Kementerian Perdagangan China, Jumat (6/4/2018). Ini menanggapi pernyataan Menkeu AS Steven Mnuchin bahwa sedang ada pembicaraan dengan China.
“Tidak mungkin ada pembicaraan dengan ancaman yang disampaikan Presiden Trump, bahwa tarif tambahan akan dikenakan pada 100 miliar dollar AS impor dari China,” kata Gao.
Einar mengatakan kekuatan China adalah karena AS telah bertindak secara unilateral, bukan memakai multilateral. Hal ini, menurut Einar, memiliki konsekuensi bahwa ini bukan semata-mata AS versus China. Ini adalah AS dengan seluruh dunia di mana AS tidak bersedia memakai hukum internasional. Einar mengatakan langkah AS ini, “Mirip permainan untuk menekan semua pihak agar mau membayar biaya makan siang.”
Melihat kondisi ini, profesor ekonomi dari University of International Business and Economics John Gong mengatakan, “Saya prihatin dengan keadaan ini. Washington harus memahami situasi di balik semua garis ini.”
Ancam jual obligasi
Kekhawatiran itu masuk akal dan turut memengaruhi pergerakan di bursa saham AS dan dunia. Gao Feng mengatakan senjata melawan AS tersedia di meja. Sebagai contoh, pasar valuta bisa menjadi alat karena China memegang surat utang AS senilai 1,17 triliun dollar AS untuk menutupi defisit anggaran pemerintah AS. Juga harus diingat nilai bisnis AS di China bernilai 300 miliar hingga 500 miliar dollar AS. “Semua ini bisa menjadi sasaran walau tak seorang pun menginginkan itu,” kata Gong.
People’s Daily, Minggu (8/4/2018), menuliskan agar “Komunitas bisnis internasional termasuk lingkaran industri dan komersial AS mengambil langkah tepat dan efektif serta mendesak pemerintah AS memperbaiki kesalahannya”.
Taktik China berhasil. Sejumlah perusahaan AS termasuk Boeing, General Motors (GM) dan American Soybean Association telah mendesak pemerintah mengatasi sengketa dagang lewat dialog konstruktif. Karena perang dagang akan memengaruhi bisnis di dua negara pihak Boeing mengatakan, “Kami akan terus berupaya dan pro-aktif menjembatani kedua pemerintahan agar terlibat perundingan produktif” (China Daily, 8 April 2018).
GM juga memberi pernyataan yang intinya mendukung hubungan dagang yang positif dan berharap keduanya memahami adanya saling ketergantungan di antara kedua negara sebagai pasar otomotif terbesar di dunia. GM memiliki investasi yang besar di China.
Jorge Guajardo, seorang mantan Dubes Meksiko untuk China kini bekerja sebagai konsultan di Washington. Berdasarkan pengalamannya, dia melihat bagaimana Beijing bisa menekan korporasi-korporasi untuk mendesak pemerintahan mereka.
Banyak yang membela
AS tampaknya sedang kena batunya dan mendapatkan tekanan balik beruntun dari China. Pada akhirnya, memang hanya asas saling pengertian di antara kedua negara yang bisa mengakhiri kemelut ekonomi kedua negara ini. Perubahan sikap Trump menjadi keharusan. Dia bukan Presiden untuk seluruh warga di dunia.
Di sisi lain, tentu pihak China harus menyadari bahwa tidak semua pihak di AS setuju dengan cara-cara Trump. Ada banyak protes di dalam negeri AS terhadap cara dan kebijakan Trump.
Mantan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen, misalnya, sudah mengatakan di bawah Trump ada ancaman defisit anggaran pemerintah AS yang terus membesar. Banyak juga lembaga pemikir di AS yang membela hubungan ekonomi bilateral AS-China, termasuk profesor dari Universitas Harvard, Lawrence Summers, yang juga mantan Menkeu AS.
Walau sakit hati dengan serangan Trump, China harus tetap berjiwa besar sebagai negara besar. China wajib berkepala dingin agar mitra-mitra ekonominya yang masih meraba-raba seperti apa China jika semakin kuat kelak, tidak memiliki kegamangan. Seperti pesan Presiden Xi selalu, kolaborasi yang memakmurkan dan juga rasa aman secara global. Tak dipungkiri China kini pemain utama ekonomi global yang bagaimana pun telah turut memakmurkan dunia.
Trump sudah mengendor. Dan seperti selalu disuarakan oleh pihak China, tidak ada yang menginginkan perang dagang. Kudlow sudah menegaskan hal serupa, tidak mengharapkan perang dagang. (AFP/REUTERS/AP)