Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Kamis (12/4/2018), mengatakan, infrastruktur merupakan salah satu sektor penting yang diidentifikasi dalam Indonesia-Africa Forum (IAF) 2018 di Nusa Dua, Bali. Dalam forum yang berlangsung pada 10-11 April 2018 itu, Indonesia memutuskan untuk membuat lebih banyak forum bisnis.
”Pada tahun depan, akan diselenggarakan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue,” ujar Retno di Nusa Dua.
Indonesia juga akan membuat tim yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan swasta. Mereka dalam waktu dekat berangkat ke Afrika untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan bisnis konstruksi serta infrastruktur di benua itu.
Butuh banyak proyek
Peluang bisnis konstruksi dan infrastruktur di Afrika saat ini sudah dimanfaatkan antara lain oleh PT Wijaya Karya (Wika), yang mengerjakan proyek di Aljazair dan Niger. Wika mendapat pula tawaran untuk menggarap proyek di Namibia, Djibouti, Lesotho, Togo, Benin, Zimbabwe, Zambia, serta Kamerun.
”Afrika membutuhkan banyak proyek infrastruktur. Secara rata-rata, rasio elektrifikasi negara-negara Afrika maksimal 50 persen. Untuk setiap 1.000 kilometer, hanya tersedia jalan raya 8 km. Di negara lain, rata-rata ratusan kilometer,” tutur Chief Executive Officer Standard Chartered Bank Indonesia Rino Donosepoetro.
Negara-negara Afrika juga membutuhkan pembangunan perumahan dalam jumlah besar. Presiden Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Djibouti, Youssef Dawaleh, mengatakan, pada tahap awal, pihaknya menjajaki pengerjaan proyek 10.000 rumah dengan Wika.
Tawaran dari Wika, menurut dia, sangat kompetitif dibandingkan dengan tawaran dari perusahaan negara lain. ”Kami bangga Djibouti menjadi pelopor kerja sama Indonesia dengan negara-negara subsahara,” ujar Dawaleh.
Proyek 10.000 rumah itu dinyatakan awal dari rencana kerja selanjutnya. Banyak peluang usaha infrastruktur di Djibouti yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha konstruksi dan infrastruktur asal Indonesia.
Retno menyebut tawaran menggarap proyek perumahan juga datang, antara lain, dari Somalia dan Mali. Di Somalia, ada proyek yang mirip dengan program sejuta rumah di Indonesia. Adapun di Mali, ada program pembangunan 245.000 rumah.
”Mereka mendengar Indonesia memiliki program perumahan dan ingin berbagai pengalaman serta informasi. Jika memungkinkan, Indonesia juga terlibat dalam program di sana (Afrika),” ujar Retno.
Manufaktur
Selain infrastruktur, Afrika juga mengundang pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di sektor manufaktur. Benua tersebut mempunyai aneka bahan mentah untuk berbagai produk. Sayangnya, industri pengolahan di Afrika belum berkembang.
”Mali merupakan salah satu sumber impor kapas Indonesia. Dikirim mentah karena di sana pengolahan kapasnya tidak bagus,” kata Mansyur Pangeran, Duta Besar Indonesia untuk Senegal dengan wilayah kerja termasuk Mali serta enam negara lainnya.
Aneka hasil pertanian dan mineral Afrika diekspor mentah, tanpa diolah sama sekali. Keterbatasan permodalan dan infrastruktur membuat industri pengolahan belum berkembang.
”Mereka ingin pengusaha Indonesia investasi juga di sana,” ujar Mansyur.
Negara-negara Afrika masih membutuhkan banyak investasi untuk memacu perekonomian, membuka lapangan kerja, sekaligus memenuhi aneka kebutuhan rakyat mereka. Afrika disebut Benua Muda karena 30 persen populasinya berusia kurang dari 30 tahun. Saat ini, ditaksir ada 240 juta penduduk berusia 15 tahun hingga 24 tahun di benua tersebut.
Bahkan, di Uganda, Chad, Niger, Angola, Somalia, Zambia, Mali, dan Malawi, sebanyak 66 persen penduduknya berusia kurang dari 25 tahun. Penduduk usia muda sebanyak itu menjadi pasar sekaligus sumber tenaga kerja yang besar.
Rino mengatakan bahwa peluang usaha manufaktur di Afrika memang sangat besar. Oleh karena itu, langkah Indonesia masuk ke Afrika sekarang dinilai sangat tepat mengingat Afrika masih berada dalam tahap awal pengembangan. Di benua tersebut, terbuka banyak peluang.