MEDAN, KOMPAS — Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah ASEAN (AICHR) sepakat kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh dihambat. Sejumlah negara ASEAN telah memiliki aturan hukum tentang pengungkapan pendapat, tetapi pendekatan legalistik ternyata tidak menguatkan, sekaligus tidak memberikan efek jera. Dibutuhkan pemberdayaan masyarakat agar kebebasan berekspresi di era teknologi ini sesuai dengan etika.
Hal itu mengemuka dalam pemaparan kesepakatan Dialog Tingkat Tinggi Pengelolaan Kebebasan Berekspresi di Abad Informasi Negara-negara ASEAN, di Medan, Kamis (12/4/2018). Kegiatan yang berlangsung dua hari itu dihadiri mekanisme ASEAN untuk informasi (SOMRI), kaum muda (SOMY), perempuan dan anak (ACWC), UNESCO, Komisi HAM PBB (OHCHR), Forum Komisi HAM ASEAN (SEANF), serta pegiat masyarakat sipil dari negara-negara ASEAN.
Inisiator pertemuan yang juga Wakil Indonesia untuk AICHR, Dinna Wisnu, mengatakan, peraturan penjaminan kebebasan berekspresi tumbuh di sejumlah negara, tetapi pendekatan legalistik yang arahnya menghukum punya keterbatasan. Sebab, pendekatan legal belum mengarah pada pemberdayaan masyarakat sipil, penguatan perlindungan untuk warga negara dan konsumen.
”Secara kontekstual di Indonesia, kecenderungan kerentanan kebebasan berekspresi justru terjadi pada momen tertentu, seperti pemilu, baik pilkada, pileg, maupun pilpres,” kata Dinna.
Artinya, lanjut Dina, segenap pihak perlu mengantisipasi momen ini jangan dijadikan arena untuk merusak kebebasan berekspresi.
Hingga saat ini ada empat negara di ASEAN yang telah memiliki perangkat hukum yang mengatur kebebasan berekspresi, yakni Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina. Penegakan hukum lebih mengemuka daripada pemberdayaan. Adapun negara yang masih dalam proses perencanaan pembuatan aturan adalah Laos dan Myanmar.
Wakil Malaysia untuk AICHR, Edmund Bon Tai Soon, mengatakan, pendekatan HAM perlu lebih bernuansa memberi ruang yang maksimal untuk kebebasan berekspresi. Namun, kebutuhan tatanan sosial sesuai prinsip Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) perlu dipenuhi.
Perwakilan Masyarakat Sipil dari Malaysia, Shakirah Rahman, mengatakan dalam dialog tingkat tinggi, berita palsu banyak dibahas. Ini menunjukkan adanya informasi yang salah. Untuk mendukung kebebasan berekspresi, sangat dibutuhkan pemberdayaan warga untuk bermedia secara etis dan cara berkomunikasi yang baik melalui literasi media.
Dalam dialog publik seusai pemaparan kesepakatan, pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menuturkan, dalam konteks Indonesia, kebebasan berekspresi sudah semakin membaik. Fakta politik dan norma menunjukkan tidak bisa lagi pemerintah otoriter. ”Maka saya heran ada yang bilang presiden otoriter,” ujar Arie.
Kini yang justru mengkhawatirkan adalah munculnya milisi sipil yang bertindak mengontrol kebebasan berekspresi dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan terpinggirkan. Birokrasi tidak berdaya menertibkan milisi sipil ini karena tidak memiliki kontrol yang efektif.
Munculnya milisi ini, lanjut Arie, merupakan kegagalan negara menyelesaikan problem militerisme. Ia menyebutkan, berdasarkan riset demokrasi, kekerasan dan isu sektarianisme justru diproduksi dan direproduksi oleh kelas menengah, baik untuk kepentingan ekonomi maupun politik. Maka, yang perlu dilakukan adalah mendorong literasi kelas menengah.
Dalam konteks pilkada, lanjut Arie, penyelenggara pemilu semestinya tidak hanya bekerja mengurusi hal-hal teknis penyelenggaraan pilkada, tetapi juga hal yang lebih substantif, seperti bagaimana mengajak publik menilai kandidat supaya tidak terjadi manipulasi.
Agung Putri Astrid Kartika, politisi PDI-P, mengatakan, Indonesia masih menghadapi problem melek digital. Separuh warga Indonesia atau sekitar 140 juta warga telah bermedia, tetapi separuhnya lagi tidak diketahui aktivitasnya. ”Masalah digital gap masih besar. Perlu ada upaya serius membuat masyarakat melek bermedia sosial dengan benar,” lanjut Agung.