Afrika Menanti Indonesia
Selama ini, Afrika dipersepsikan sebagai benua yang miskin, mengalami kelaparan, dan kekeringan. Sangat sedikit informasi bahwa negara itu menawarkan peluang usaha besar.
”Persepsi kurang tepat soal Afrika menjadi penghalang utama perusahaan-perusahaan Indonesia membidik pasar Afrika. Forum ini bertujuan menunjukkan ada potensi di Afrika,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Dalam forum yang dihadiri 47 negara di Afrika itu, Indonesia menawarkan dari produk kecantikan hingga pesawat terbang. ”Selama ini, kami juga mengalami kekurangan informasi mengenai Indonesia. Ternyata ada banyak barang kebutuhan yang bisa diperoleh dari Indonesia,” ujar Presiden Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Djibouti Youssef Dawaleh.
Selama forum berlangsung, Dawaleh menjajaki kerja sama dengan PT Wijaya Karya (Wika) untuk membangun 10.000 rumah. Tawaran menggarap proyek perumahan juga datang dari Ghana dan Somalia.
Bahkan, Ghana menawarkan Wika terlibat dalam proyek sejuta rumah di negara itu. ”Kami membidik proyek sampai senilai Rp 3 triliun di Afrika,” kata Manajer Divisi Luar Negeri Wika Bimo Prasetyo.
Saat penjajakan masih dilakukan di Djiboutidi, perusahaan itu sudah beroperasi di Aljazair dan Niger. PT Wika juga membidik proyek-proyek infrastruktur di beberapa negara Afrika lainnya.
China
”Kalau disebut terlambat, memang Indonesia terlambat memanfaatkan peluang ekonomi di Afrika. Padahal, Indonesia sudah mempunyai modal hubungan baik sejak lama dengan negara-negara Afrika,” kata peneliti kajian Afrika pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ahmad Helmy Fuady.
Sebagai penyelenggara Konferensi Asia Afrika 1955 dan 2015, Indonesia mendapat tempat khusus di Afrika. Sayangnya, justru China yang memanfaatkan hubungan selama KAA. ”Sejak masa perang dingin, China sudah hadir dan membangun banyak proyek di Afrika,” ujar Ahmad.
China terutama hadir di Afrika timur. Meski memakai nama Afrika, banyak perusahaan di benua itu sebenarnya dimiliki oleh perusahaan China.
”Banyak kalangan yang menduga China hadir di Afrika melalui BUMN. Faktanya, mayoritas perusahaan China di Afrika adalah perusahaan swasta,” ujar Muzzar Kresna, peneliti Kajian Afrika di LIPI.
Laporan McKinsey, pada 2017, yang berjudul ”Dance of the lions and dragons: how are China and Africa engaging, and how will the partnership evolve?” menyebutkan, ada lebih dari 10.000 perusahaan asal China yang beroperasi di Afrika. Sekitar 90 persen dari perusahaan-perusahaan ini merupakan milik swasta.
Perusahaan-perusahaan China beroperasi di banyak sektor di Afrika. Hampir sepertiga perusahaan-perusahaan China beroperasi di sektor manufaktur. Seperempat di antaranya di sektor jasa dan sekitar seperlima beroperasi di sektor perdagangan, konstruksi, serta real estat.
Pada bidang manufaktur, McKinsey memperkirakan bahwa 12 persen dari total produksi industri Afrika—bernilai total sekitar 500 miliar dollar AS per tahun—ditangani oleh perusahaan-perusahaan asal China.
Di sektor infrastruktur, China antara lain membangun jaringan rel kereta dari Kenya ke Sudan Selatan. Saat banyak negara menjauhi Sudan Selatan yang tidak kunjung berhenti dilanda perang, China justru masuk ke sana.
”Keretanya nanti bukan membidik penumpang. Dengan proyek itu, dibangun sarana transportasi untuk mengangkut minyak dari Sudan Selatan ke Kenya yang memiliki pelabuhan laut. Sudan Selatan memang kaya minyak,” tutur Muzzar.
China membanjiri pula Benua Afrika dengan aneka barang, mulai dari perangkat rumah tangga hingga semen. Bahkan, produk buatan China bisa jauh lebih murah dibanding produk buatan Afrika.
Perancis di Barat
Berbeda dengan Afrika timur yang menyaksikan kehadiran pengaruh China, wilayah Afrika barat dan tengah menjadi tempat pengaruh Perancis. Sampai sekarang, Benin, Burkina Faso, Côte d’Ivoire, Guinea-Bissau, Mali, Niger, Senegal, dan Togo di Afrika Barat menggunakan CFA franc sebagai mata uang. Demikian pula negara Chad, Gabon, Guinea Khatulistiwa, Kongo, dan Kamerun di Afrika tengah.
Mereka juga menjadi penutur bahasa Perancis. Gabungan penduduk di negara- negara itu membuat jumlah penutur bahasa Perancis di Afrika 2,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan di Perancis.
Jumlahnya akan semakin besar jika menghitung negara lain yang tidak menggunakan CFA franc, tetapi penduduknya menjadi penutur bahasa Perancis. ”Salah satu modal untuk berusaha di Afrika adalah bahasa Perancis. Lebih banyak penutur (bahasa) Perancis dibandingkan (bahasa) Inggris di Afrika,” kata Duta Besar Indonesia untuk Etiopia Imam Santoso.
Muzzar menambahkan, ada beberapa negara, seperti Mauritania dan Madagaskar, telah meninggalkan CFA franc. Namun, negara-negara lain tetap menggunakan mata uang itu.
”Pengguna CFA franc harus menyimpan mayoritas cadangan devisa di bank sentral Perancis. Negara-negara itu secara tidak langsung menopang Perancis. Ada banyak protes, terutama dari Senegal, agar CFA franc ditinggalkan,” tutur Muzzar.
Protes tersebut muncul terutama karena negara-negara pengguna CFA franc merasa sudah saatnya mandiri secara ekonomi. Mereka merasa telah memiliki banyak modal dan peluang untuk dikembangkan.
”Afrika barat terutama kaya aneka bahan tambang mineral. Niger memiliki cadangan uranium dalam jumlah amat besar. Indonesia mengimpor minyak dari Angola dan Nigeria,” ujar Muzzar.
Impor minyak dan kapas menjadi penyebab neraca perdagangan Indonesia dengan 13 negara Afrika defisit. Adapun dengan 34 negara lain, neraca perdagangan Indonesia selalu surplus.
Nilai perdagangan Indonesia dengan negara-negara Afrika selalu meningkat hingga lebih dari 100 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan peluang masih amat besar di Afrika.
”Afrika seperti gelas yang baru 1/10 penuh. Masih banyak peluang untuk mengisinya,” kata Muzzar.
Untuk mengembangkan sayap di Afrika, Indonesia perlu menempatkan perwakilan dagang yang berlatar dunia usaha, bukan lagi atase perdagangan berlatar birokrat. Pengusaha akan bisa lebih paham dan luwes dalam mencari serta memanfaatkan peluang bisnis.
Indonesia tentu saja juga harus menambah perwakilan di Afrika. Sekarang, hanya ada 14 Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk 54 negara di Afrika.