Beragam data statistik menunjukkan Afrika menawarkan banyak peluang bisnis. Penduduk usia muda dalam jumlah besar, industri masih dalam tahap mula, dan masih banyak hal yang perlu dibangun merupakan sebagian dari kombinasi penarik di benua itu.
Lembaga konsultan McKinsey menaksir Afrika menawarkan kesempatan bisnis senilai 5,6 triliun dollar AS dalam tujuh tahun ke depan. Kesempatan itu ditawarkan dari konsumsi rumah tangga 2,1 triliun dollar AS dan sisanya dari kegiatan usaha.
”Tidak perlu belajar ekonomi yang rumit. Semua data statistik akan menunjukkan Afrika tumbuh pesat. Di benua lain, rata-rata pertumbuhan kurang dari 5 persen, tetapi Afrika bisa tumbuh 10 persen,” kata peneliti kajian Afrika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muzzar Kresna.
Kondisi itu bisa terjadi terutama karena perekonomian Afrika masih jauh dari optimal. ”Afrika sedang haus pembangunan,” ujar peneliti kajian Afrika di LIPI, Ahmad Helmy Fuady.
Tantangan
Namun, dengan data statistik itu, tetap saja belum banyak investor di Afrika. Salah satu penyebabnya adalah stabilitas.
Negara yang aman bisa mendadak menjadi tempat huru-hara. ”Penyebab utamanya adalah persaingan politik. Kepala negara dan kepala pemerintahan yang menolak turun, meskipun masa jabatan sudah habis atau kecurangan pemilu, bisa menyebabkan ketidakstabilan,” ujar Helmy.
Karena itu, tahun-tahun politik patut diwaspadai oleh setiap calon pengusaha atau pengusaha yang sudah menanamkan modal di Afrika, meski kericuhan terjadi di sebagian wilayah saja. ”Sama saja seperti di Indonesia, kegentingan yang terjadi di Jakarta bukan berarti di kota lain juga ada kegentingan,” katanya.
Risiko lain adalah keamanan. Di beberapa wilayah, masih ada kelompok bersenjata yang secara faktual memegang kendali. Calon pengusaha sebaiknya mencari informasi daerah mana saja yang tidak dikendalikan pemerintah.
Adapun di sejumlah kota, ada kejahatan-kejahatan yang lazim terjadi di metropolitan. ”Pencopetan, penodongan, atau begal terjadi juga di banyak tempat di Indonesia. Investasi tidak terpengaruh pada hal-hal seperti itu,” ujar Helmy.
Risiko pembiayaan
Lembaga Pembiayaan Ekspor dalam buku Road To Africa menyebut ada pula risiko pembiayaan. Hal itu tecermin dari hampir seluruh transaksi ekspor-impor Indonesia dan negara di Afrika tidak menggunakan letter of credit (L/C), tetapi pembayaran di muka. Padahal, transaksi ekspor-impor di banyak negara lazimnya memakai L/C.
”Kondisi di Afrika agak unik. Pembiayaannya merupakan hasil sindikasi dari banyak negara. Bukan berarti tidak bisa diselesaikan,” kata CEO Standard Chartered Bank Indonesia Rino Donosepoetro.
Salah satu tawaran penyelesaiannya adalah kredit ekspor senilai total 100 juta dollar AS. Kredit itu khusus dialokasikan Standard Chartered Bank bagi pengusaha Indonesia yang membidik pasar Afrika.
Selain pembiayaan, menurut Rino, tantangan investasi dan berusaha di Afrika adalah risiko pengendalian moneter. Ada pembatasan penukaran valuta asing di banyak negara Afrika. Padahal, perusahaan asing yang beroperasi di Afrika membutuhkan valas untuk mengirimkan keuntungan usaha ke negara asal. (RAZ)