Pada Februari 2018, penduduk Nigeria bisa membeli mi instan dengan harga separuh dari harga pasaran. Pada kardus mi instan separuh harga ini, terpasang foto seorang politisi Nigeria.
Si politisi disebut akan mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum 2019. Tidak ada kejelasan apakah ia benar-benar akan mencalonkan diri atau tidak. Hal yang jelas adalah warga Nigeria bisa membeli mi instan separuh harga.
Mi instan yang dipilih adalah produk perusahaan asal Indonesia. Di Afrika dan Indonesia, mi instan itu menggunakan merek sama dan digunakan, salah satunya, untuk tujuan serupa: sarana kampanye.
Mulai diproduksi di Nigeria sejak 1995, mi instan itu sudah menjadi merek terkenal di Afrika. Karena mi ini populer dan banyak peminatnya, produsennya sampai harus membuka pabrik tambahan, antara lain di Maroko, Kenya, Sudan, Etiopia, dan Mesir.
Tidak hanya dijadikan alat kampanye, mi instan tersebut juga dikonsumsi untuk meningkatkan kebanggaan. Penyebabnya, di sebagian negara Afrika, ayam adalah makanan para bangsawan, dan produsen mi instan memanfaatkan hal itu dengan memproduksi mi instan rasa kaldu ayam.
”Harga (mi instan) lebih mahal dibandingkan dengan makanan lokal. Akan tetapi, orang lebih memilih mi instan karena mempunyai rasa kaldu ayam,” ujar peneliti Kajian Afrika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muzzar Kresna.
Produk Indonesia lain yang terkenal di Afrika adalah sabun colek. ”Orang Somalia memilih sabun colek Indonesia karena multifungsi. Bisa dipakai untuk mencuci, mandi, dan keramas. Di Indonesia, sudah sangat sulit menemukan orang menggunakan sabun colek untuk keperluan seperti itu,” ujar Muzzar.
Mi instan dan sabun colek adalah produk Indonesia yang berjaya di pasar Afrika. Produsennya sudah membuka pabrik di Afrika agar memudahkan penjualan dan distribusi. ”Jarak Indonesia dan Afrika jauh sehingga membutuhkan waktu lama jika harus ekspor barang. Selain itu, tidak semua negara Afrika mempunyai laut sehingga mereka harus menumpang pelabuhan di negara tetangga,” kata peneliti kajian Afrika di LIPI, Ahmad Helmy Fuady.
Sarung
Untuk mengatasi kondisi itu, pengoperasian pabrik di Afrika menjadi solusi. Ada juga produk Indonesia yang laris meskipun belum ada pabriknya di Afrika. Sarung dan busana Indonesia termasuk laris di Afrika, tetapi pabriknya belum ada di benua tersebut.
”Dengan Somalia, komoditas perdagangan terbesar adalah sarung. Neraca perdagangan Indonesia bernilai 75 juta dollar AS. Surplus untuk Indonesia karena tidak mengimpor apa-apa dari Somalia,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito.
Sarung tidak hanya dibeli oleh orang Somalia. Sejumlah negara Afrika juga membeli sarung dari Indonesia. Seperti mi instan, sarung buatan Indonesia kadang-kadang dipakai oleh politisi untuk ”merebut” hati warga. ”Samalah seperti di Indonesia,” ucap Enggartiasto.
Sarung dan busana biasanya dibeli oleh orang- orang Afrika yang bertandang ke Pasar Tanah Abang, Jakarta. Dari sana, karung-karung besar berisi aneka sarung dan busana dikirimkan ke Afrika. ”Mereka menganggap motif dan model busana Indonesia sangat bagus dan cocok dengan mereka. Produsen dan pedagang di Tanah Abang seperti menyesuaikan juga dengan selera pasar di sana. Seleranya berbeda dengan Indonesia,” kata Muzzar.
Enggartiasto optimistis, masih banyak produk Indonesia yang diminati pasar Afrika. Masalahnya, selama ini, pasar Afrika tidak diperkenalkan dengan produk-produk Indonesia lainnya.
Padahal, menurut dia, warga Afrika antusias saat mengetahui Indonesia bisa membuat berbagai barang. Paling tidak, hal tersebut tecermin selama berlangsungnya Indonesia-Africa Forum, 10-11 April 2018, di Bali. Dalam forum ini, dihasilkan kontrak 1,08 miliar dollar AS. Selain itu, ada pula penjajakan kerja sama bernilai total 1,3 miliar dollar AS. (RAZ)