Mimpi Buruk
Ini cerita tentang masa lalu. Masa lalu yang tidak selalu indah. Meskipun M Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf, ahli retorika, dan juga negarawan Romawi, pernah mengatakan, ”Historia est testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vetustatis,” sejarah adalah tanda zaman, cahaya kebenaran, kehidupan ingatan, guru kehidupan, utusan zaman purba.
Alkisah, menurut cerita, sebelum Khalifah Al-Manshuṣūr—yang nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Abdallah ibn Muhammad al-Manshur—meninggal pada tahun 775 M, ia memanggil putranya, Al-Mahdi dan istrinya. Khalifah memberikan sebuah kunci kamar. Tetapi, ia berpesan, putranya tidak boleh membuka kamar itu sebelum ia meninggal.
Al-Manshuṣūr adalah khalifah kedua dari Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi, Al-Manshuṣūr yang lahir 712 M—ada yang menyebut 714—di Al-Humaymah (kini masuk wilayah Jordania), secara umum dipandang sebagai pendiri Kekhalifahan Abbasiyah (dimulai tahun 750). Al-Manshuṣūr juga diyakini sebagai pendiri kota Baghdad (762). Kekhalifahan Abbasiyah berakhir setelah diserang bangsa Mongol pimpinan cucu Khubilai Khan, yakni Hulagu Khan, pada 10 Februari 1258. Bangsa Mongol menghancurkan Baghdad dan membunuh Khalifah Al-Musta’shim.
Menurut cerita, pasukan Mongol tidak hanya menghancurkan semua bangunan di kota itu, tetapi juga meratakannya dengan tanah. Pasukan Hulagu juga membunuh 800.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak di kota itu. Jenazah-jenazah itu dibiarkan bergeletakan di sana-sini selama 40 hari. Darah mengalir ke mana-mana bagaikan sungai. Aliran darah itu bergerak dari jalan-jalan menuju lembah dan masuk Sungai Tigris. Ribuan jenazah yang tak terurus itu membusuk. Menimbulkan penyakit. Inilah tragedi pada abad ke-13 yang melanda Baghdad.
Setelah Al-Manshuṣūr meninggal, menurut Justin Marozzi, Al-Mahdi bersama istrinya membuka kamar dengan kunci peninggalan ayahnya. Dalam bayangan mereka berdua, di dalam kamar bertumpuk harta benda kekhalifahan yang dikenal sebagai kaya raya: ada emas, berlian, batu-batu mulia lainnya, surat-surat berharga, dan barang-barang berharga lain yang sudah dikumpulkan ayahnya. Tidak aneh kalau itu yang dibayangkan. Sebab, pada waktu itu, Baghdad tidak hanya ibu kota politik, pusat pemerintahan, tetapi juga pusat perdagangan, pusat kebudayaan, dan segala aktivitas manusia.
Akan tetapi, betapa kecewa mereka begitu membuka pintu kamar dan melihat apa yang ada di dalam kamar itu. Mereka tidak menemukan barang-barang berharga, seperti yang mereka bayangkan ketika masih berdiri di depan pintu kamar tertutup. Yang mereka saksikan di dalam kamar adalah setumpuk jenazah: lelaki, perempuan, dan anak-anak segala umur. Dan masing-masing telinga jenazah digantungi selembar kulit bertuliskan data diri jenazah itu secara lengkap. Satu hal yang sama pada data diri itu setiap jenazah tertulis kata ”Alid”, yang berarti pendukung Ali; dengan kata lain mereka Syiah (Raja Shehadeh dan Penny Johnson, ed: 2015).
Justin Marozzi menulis, mengapa ia mengungkapkan cerita itu? Ia ingin menyatakan bahwa ”ketegangan sektarian (konflik) yang mengganggu kawasan itu saat ini sudah ada di Irak sejak Baghdad didirikan pada akhir abad kedelapan”. Dengan kata lain, ketegangan sektarian sudah lama ada dan hidup di kawasan itu, yang kemudian tidak jarang digunakan oleh penguasa selanjutnya di zaman yang berbeda. Pertanyaannya, tentu, apakah perjalanan ”mimpi buruk” umat manusia itu tidak bisa dihentikan? Karena konflik sektarian di mana-mana dan kapan saja, hanya menghancurkan.
Di Cordoba, salah satu kota terbesar di Eropa dan Timur Dekat abad pertengahan, ada cerita yang lain. Cordoba, Andalusia (Spanyol), ketika itu adalah mercusuar ilmu pengetahuan yang hanya bisa disaingi Baghdad di zaman keemasan Dinasti Abbasiyah. Di sana ada perpustakaan—bahkan terbesar di Eropa—yang mengoleksi berbagai macam buku filsafat dalam bahasa Latin, Yunani, dan Arab. Berbagai karya filsafat masa lalu diterjemahkan dan tersimpan di perpustakaan kota.
Di era Abd al-Rahman III—bernama lengkap Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Abd Allah ibn Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Hakam al-Rabdi ibn Hisyam ibn Abd al-Rahman ad-Dakhil—berkuasa (891-961), zaman itu dicatat sebagai masa Convivencia. Di era Abd al-Rahman III—mengangkat diri sebagai khalifah tahun 929 dan berkuasa hingga 961—terbangunlah kehidupan harmonis di masyarakat yang multikultural—Muslim, Yahudi, dan Kristen. Mereka hidup rukun dan damai, saling menghormati, saling menghargai, tanpa ada kecurigaan, tak saling mencurigai—Convivencia (Robert T Yong: 2012).
Masa Convivència—secara harfiah berarti ”hidup bersama” dalam istilah Catalan—menurut Sarah-Mae Thomas (2013), berlangsung lebih dari 400 tahun. Zaman itu, umat Islam, Yahudi, dan Kristen hidup bersama dalam damai dan harmoni. La Convivencia menunjuk pada koeksistensi damai itu. Ilmu pengetahuan dan tasawuf banyak dipelajari dan berkembang di kota-kota di Spanyol, seperti Toledo, Cordoba, dan Granada. Para mahasiswa dan dosen dari tiga agama Samawi itu saling membantu, belajar bareng, menerjemahkan, dan memahami ajaran- ajaran serta ilmu pengetahuan lama untuk kemajuan bersama.
Tetapi, La Convivencia berakhir pada tahun 1492. Sejak saat itu, koeksistensi damai di antara tiga umat itu berakhir di Andalusia. Ketika itu, penguasa Granada, Muhammad XII, menyerah pada Raja Ferdinand II dari Aragon dan Isabella I dari Castile. Peristiwa ini mengakhiri 780 tahun kekuasaan kerajaan Islam atas Andalusia. Dan, kelanjutannya sangat merusak keharmonisan kerukunan umat beragama: Ferdinand dan Isabella mengeluarkan Dekrit Alhambra, berisi pengusiran semua orang Yahudi dari Spanyol kecuali pindah agama menjadi Katolik. Antara 45.000-300.000 orang Yahudi meninggalkan negeri itu. Tetapi, banyak di antaranya yang kemudian hari balik lagi.
Dari masa ke masa, sejarah telah mencatat, seperti dikatakan Cicero: kalau agama sudah berselingkuh dengan politik, dengan kekuasaan, hasilnya adalah kehancuran; rusaknya harmoni kehidupan masyarakat bangsa, dan mimpi buruk di malam gelap.