NEW YORK, MINGGU - Iran mengingatkan akan kembali mengembangkan program nuklir mereka jika Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015. Kesepakatan itu ditandatangani bersama dengan Perancis, Inggris, Jerman, China, dan Rusia.
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif, Sabtu (21/4/2018), kepada wartawan di New York mengatakan, Iran tidak berencana membuat bom nuklir, tetapi Iran akan merespons langkah AS dengan memulai kembali produksi pengayaan uranium—bahan kunci bom nuklir—jika sampai AS menarik diri. ”Amerika tak perlu khawatir Iran akan memproduksi bom nuklir, tetapi kami akan melanjutkan produksi uranium secepatnya,” kata Zarif.
Presiden AS Donald Trump menetapkan tanggal 12 Mei sebagai tenggat bagi negara-negara Eropa untuk ”memperbaiki” kesepakatan nuklir 2015. Kesepakatan itu berisi kesediaan Iran untuk menghentikan program nuklirnya dengan imbal balik pencabutan sanksi.
Zarif mengatakan, para pemimpin Eropa harus menekan Trump untuk taat pada kesepakatan, jika memang AS ”tetap ingin mempertahankan kredibilitasnya di dunia internasional”.
Jika AS benar-benar keluar dari kesepakatan, maka Iran juga tidak berniat tetap dalam kesepakatan itu. ”Sangat kecil kemungkinannya Iran melakukan kesepakatan yang hanya satu sisi. AS di bawah kepemimpinan Trump telah melakukan segalanya untuk menghalangi Iran memperoleh manfaat dari kesepakatan ini,” kata Zarif.
Zarif meminta semua pemerintahan untuk berhati-hati dalam melakukan kesepakatan dengan AS, khususnya pada pemerintahan Trump, yang Mei mendatang akan bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. ”Anda jangan membuat kesepakatan dengan AS, karena pada akhirnya prinsip yang berlaku bagi AS adalah ”apa yang menjadi milikku adalah milikku, apa yang menjadi milikmu belum tentu milikmu”.
Peran Macron
Isu nuklir Iran akan menjadi materi utama pembicaraan antara Presiden Perancis Emmanuel Macron dengan Trump,
Senin ini, yang dilanjutkan dengan pertemuan bersama Kanselir Jerman Angela Merkel di Washington, Jumat mendatang.
Para pemimpin Eropa berharap bisa membujuk Trump tetap berada dalam kesepakatan. Sebagai imbalannya, mereka sepakat mendesak Iran membuat kesepakatan terkait uji coba rudal dan mengendurkan pengaruhnya di Yaman, Suriah, dan Lebanon.
Jika ada pemimpin yang bisa berbicara setara dengan Trump, menurut pengamat adalah Macron, yang memiliki hubungan yang lebih baik dengan Gedung Putih dibandingkan PM Theresa May atau Angela Merkel. Paris juga merupakan negara Eropa pertama yang mengusulkan langkah lebih keras terhadap program rudal balistik Iran, sebagai imbal balik dukungan terhadap kesepakatan nuklir.
Bahkan untuk meyakinkan Trump, negara-negara Eropa saat ini tengah mengerjakan dokumen yang akan mencegah Iran ke jalur nuklir pascakesepakatan nuklir 2015 selesai.
Persoalannya adalah pada diri Trump. ”Jika kami (AS dan para mitranya dari Eropa) mencapai kesepakatan, presiden akan membuat keputusan apakah akan tetap berada dalam kesepakatan,” kata Brian Hook, Kepala Kebijakan di Deplu AS.(AP/AFP/REUTERS/MYR)