Ketika Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un sibuk menyiapkan pertemuan bilateral dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat, China hanya bisa menyaksikan dari "pinggir lapangan" karena tidak terlibat dalam kedua pertemuan itu. Lebih parah lagi, sebut harian The New York Times, Selasa (24/4/2018), Korut bisa membuat kesepakatan yang mendekatkan dengan AS maupun Korsel. Jika hal itu terjadi, Korut akan bisa mengurangi ketergantungan sektor ekonomi dan keamanan pada China.
Ini bisa saja terjadi mengingat—tak hanya Kim Jong Un— Pendiri Korut Kim Il Sung dan penerusnya, Kim Jong Il, sejak lama ingin dan berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada China. Kehilangan wibawa menjadi masalah besar bagi China, terutama Presiden Xi Jinping yang ingin dipandang sebagai aktor penting dalam hubungan internasional.
"Sekarang tiba-tiba China tidak punya andil apa-apa," kata Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di Lingnan University, Hong Kong, Zhang Baohui.
Pertemuan puncak Korut-Korsel dan Korut-AS bisa membentuk aliansi baru. Jika hal ini terjadi, China tersingkir dan bukan lagi penentu penyelesaian perkara di kawasan.
Peneliti di Forum Masa Depan Semenanjung Korea di Seoul, Duyeon Kim, juga menilai China tidak senang melihat keakraban dua Korea dan AS yang makin menjadi pusat perhatian dunia. "China khawatir dianggap tak punya pengaruh lagi dan tidak bisa memenuhi kepentingan China di kawasan," ujarnya.
Padahal di masa Perang Korea 1950-1953, China ikut berperang membantu Korut menghadapi AS dan Korsel. China juga sering membantu Korut di masa-masa susah ketika dilanda kemiskinan dan kelaparan serta saat diisolasi dunia.
Bagi China, Korut menjadi penahan penting agar pasukan AS yang memiliki pangkalan di Korsel, tidak masuk ke kawasan mereka. Peluang Korsel-Korut kembali bersatu membuat China khawatir karena Korea yang bersatu, demokratis, dan dekat dengan AS akan berbahaya bagi pemerintah komunis China.
Namun di sisi lain, dalam bayangan atau harapan China, pertemuan Korut-AS bisa berujung penarikan seluruh pasukan AS dari Korsel. "Perjanjian perdamaian menguntungkan China karena akan melucuti nuklir Korut dan, yang lebih penting, akan mengakhiri legalitas aliansi militer dan pasukan AS di Korea," kata pakar Korut pada The Stimson Center di Washington, Yun Sun.
Korut, kata Korsel, sampai sejauh ini tidak menuntut pasukan AS ditarik dari Korsel. Korut hanya menuntut jaminan keamanan dari AS sebagai imbal balik perlucutan nuklir mereka.
Kekhawatiran China
Laman CNN, Rabu, juga menyebutkan Kim Jong Un makin muncul ke atas panggung dan disorot dunia. Ini membuat China makin khawatir Korut akan berjalan sendiri menjauhi China. Kekhawatiran China ini lumrah mengingat hubungan China-AS juga sedang tak mesra karena urusan perdagangan.
Selain itu, ambisi Korut mengembangkan rudal dan nuklir membuat China khawatir karena hal itu bisa memicu kemungkinan persaingan persenjataan di kawasan yang bisa mengancam China. Untuk itu, China mendukung sanksi Dewan Keamanan PBB pada Korut.
Akibatnya, hubungan dagang China-Korut terganggu, dan Korut tertekan. Hubungan kedua negara tak lagi mesra seperti dulu, meski China berusaha menjaga hubungan normal dan stabil dengan Korut.
China kaget ketika Kim Jong Un tahun lalu menawarkan diri bertemu dengan Korsel dan AS. China lalu bergerak cepat untuk mencoba melibatkan diri dalam rencana itu. Atas undangan China, Kim muncul di Beijing, akhir Maret lalu. Bagi Xi, pertemuan ini penting untuk menunjukkan China tetap pemain penting di Semenanjung Korea.
Bagi Korut, kunjungan Kim ke China merupakan upaya dia menunjukkan pada dunia bahwa posisinya sejajar dan sama penting dengan Xi. "Ini strategi diplomasi Korea Utara yang dirancang dengan baik dan penuh perhitungan," ujar Jean Lee, analis pada The Hyundai Motor-Korea Foundation Center for Korean History and Public Policy di The Wilson Center.
Meski ingin mendorong Korut ikut perundingan perlucutan nuklir dengan ikut tanda tangan sanksi DK PBB, China tidak menginginkan perubahan rezim di Korut. China khawatir, jika Korut terganggu bahkan secara ekonomi dan politik tumbang, hal itu akan memicu gelombang pengungsi ke China.
Posisi China, terutama Xi, serba salah. Di satu sisi, China tak mau AS berada di posisi penentu penyelesaian perkara di kawasan karena China merasa dialah yang harus menjadi penentu. Namun di sisi lain, China juga tidak berkutik. Korut seakan sudah tidak membutuhkan bantuan China lagi.