Mengendurnya ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan memunculkan lagi pembicaraan mengenai kemungkinan unifikasi kedua Korea. Seperti runtuhnya tembok Berlin, muncul harapan Korea bisa bersatu kembali. Warga kedua Korea berulang kali menginginkan itu.
Setidaknya, hal itu terwujud saat mereka berbaris bersama dalam satu tim di bawah bendera persatuan dalam Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Februari lalu. Ketika sekelompok bintang K-pop mengunjungi Pyongyang dan tampil menghibur, mereka pun berpegangan tangan dengan warga Korut dan menyanyikan ”Our Wish is Unification”.
Namun, bagi kedua negara yang terkunci dalam konflik selama 70 tahun, ide unifikasi itu dipandang sebagai hal yang tidak realistis. Sejumlah analis politik menyebut, jurang kesenjangan antara kedua Korea sangat lebar.
Setelah 70 tahun terpisah, Korsel kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di kawasan. Secara sosial, masyarakat Korsel pun maju dan berkembang dalam demokrasi. Sebaliknya, warga Korut terpasung oleh kemiskinan, terisolasi dari komunitas internasional dan terus berada di bawah bayang-bayang dinasti keluarga Kim.
Kedua Korea tampaknya belum mampu mengukir sejarah sebagaimana pernah ditorehkan Jerman Timur-Barat yang bersatu kembali pada 1990. Korea, sejak akhir perang saudara pada 1953, hingga kini belum menandatangani perjanjian damai.
Pada masa lalu, beberapa pemimpin Korsel telah menetapkan rencana reunifikasi kedua Korea dengan asumsi bahwa rezim otoriter Korut akan runtuh dan bergabung dengan Korsel. Namun, asumsi itu tidak pernah terwujud. Saat ini, di bawah Presiden Moon Jae-in yang liberal, unifikasi itu coba dibangun kembali.
Dukungan menurun
Di tengah harapan tentang unifikasi, survei oleh Institut Korea untuk Unifikasi Nasional memperlihatkan, dukungan publik Korsel untuk unifikasi justru menurun. Saat ini hanya 58 persen warga Korsel yang mendukung unifikasi. Sebelumnya, pada 2014, dukungan publik untuk unifikasi mencapai 70 persen. Jauh sebelum itu, dalam survei 1969, sebanyak 90 persen warga Korsel mendukung unifikasi.
Menurut Park Jung-ho (35), seorang pekerja kantor di Seoul, Korsel, akan berkorban terlalu besar secara ekonomi jika unifikasi terjadi. ”Saya sangat menentang unifikasi dan tidak berpikir kita harus bersatu hanya karena alasan kita berasal dari kelompok yang sama,” katanya.
Menurut Park Jung-ho, kedua Korea bisa hidup berdampingan secara damai tanpa ketegangan politik, itu sudah cukup. Untuk meredakan permusuhan kedua Korea, ia berpendapat Pemerintah Korsel harus mengakui Korut sebagai tetangga yang setara seperti China atau Jepang.
Ben Forney, peneliti di Seoul’s Asan Institute, berpendapat, unifikasi sulit dipenuhi, bahkan memiliki ekses mempersulit banyak tujuan jangka pendek, seperti denuklirisasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Contohnya, pada 2016, kawasan industri bersama Kaesong, di mana pekerja Korut dan Korsel bekerja bersama, terpaksa ditutup karena perselisihan terkait nuklir Korut. Ketidakpercayaan antara kedua Korea terlalu dalam. (REUTERS/ELOK DYAH MESSWATI)