Jalan Korea Selatan-Korea Utara Masih Panjang dan Berliku
Jabat tangan erat keduanya berlangsung cukup lama, 20 detik, dan tak cuma sekali. Hal ini berbeda dengan ketika mendiang Kim Jong-il, ayah Kim Jong Un, bertemu Presiden Korsel Kim Dae-jung pada pertemuan Korsel-Korut yang pertama tahun 2000 di wilayah Korut. Keduanya waktu itu berjabat tangan hanya selama 5 detik.
Pada pertemuan 2007, jabat tangan pemimpin kedua negara malah lebih singkat lagi. Kim Jong-il dan Presiden Korsel Roh Moo-hyun hanya bersalaman selama 3 detik. Itu pun hanya dengan satu tangan.
Dari urusan jabat tangan saja, Jong Un dan Moon terlihat lebih rileks dan akrab. Setidaknya, salaman hangat itu memberi harapan masa depan lebih baik. Pertemuan ini menjadi bersejarah tak hanya karena salaman mereka yang lebih lama, tetapi juga karena baru kali ini ada pemimpin Korut menyeberang ke Korsel setelah Perang Korea berakhir tahun 1953.
Tidak ada yang pernah membayangkan pertemuan ini akan bisa terjadi, apalagi mengingat ketegangan di Semenanjung Korea tahun lalu. Saat itu, Korut, Korsel, dan Amerika Serikat sudah seperti akan berperang karena saling ancam dan unjuk kekuatan militer. Namun, belakangan, hubungan AS-Korut membaik karena Jong Un menyatakan bersedia menghentikan program pengembangan rudal dan nuklir serta terbuka pada dialog.
Untuk menindaklanjuti kesediaan Jong Un melucuti nuklir, AS dan Korut akan bertemu pada akhir Mei atau awal Juni mendatang. Pertemuan inilah yang sebenarnya menentukan arah masa depan hubungan Korsel-Korut dan hubungan keduanya dengan komunitas internasional. Hal ini terlihat dari hasil pertemuan Jong Un dan Moon yang hanya sarat janji dan komitmen.
Kedua pemimpin sepakat memperjuangkan tujuan bersama, yakni perlucutan nuklir di Semenanjung Korea dan secara resmi mengakhiri perang Korea pada akhir tahun ini. Jong Un juga berjanji, kesepakatan dengan Moon akan diimplementasikan. Untuk itu, kata Jong Un, disepakati menjaga koordinasi sehingga kesalahan masa lalu tidak terulang. ”Mungkin akan ada kesulitan dan frustrasi, tetapi tanpa itu tidak mungkin ada kemenangan,” ujarnya.
Proses dan hasil pertemuan bilateral ini disambut baik oleh AS, Rusia, Jepang, China, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bahkan, Rusia bersedia memfasilitasi kerja sama praktis antara Korsel dan Korut di bidang perkeretaapian, energi gas, dan energi listrik. Meski keempat negara itu mengakui bahwa hasil itu hanya langkah awal dan harus segera ditindaklanjuti dengan langkah konkret.
”Kita memang tidak bisa mengharapkan yang lebih banyak dari hasil yang dicapai hari ini,” kata John Delury, Guru Besar Hubungan Internasional di Yonsei University, Seoul, kepada The Washington Post, Jumat (27/4/2018).
Pertanyaan penting yang masih belum terjawab adalah jaminan keamanan Korut dari ancaman serangan jika mereka bersedia melucuti nuklirnya. Dalam pembicaraan Jong Un dan Moon, juga tidak disinggung simpanan nuklir yang sudah ada. ”Hasilnya minim, jauh di bawah harapan kita. Semoga mereka bisa berdiskusi lebih jauh,” ucap Kim Jae-chun, Guru Besar di Sogang University kepada harian Financial Times.
Trump jadi penentu
Semestinya, menurut Guru Besar Kim Byung-yeon di Seoul National University, kedua pemimpin membahas solusi isu nuklir dan tidak hanya sepakat menjadikan isu itu tujuan bersama. Hal itu mengingat hasilnya tidak maksimal, kini ”bola” berada di tangan Presiden AS Donald Trump. ”Trump harus bekerja keras membuat peta jalan perlucutan nuklir yang lebih rinci ketika bertemu Kim Jong Un, seperti membuat kerangka waktu dan metodologinya,” ujarnya.
Solusi perlucutan nuklir memang tidak mungkin akan hanya dibicarakan berdua. Sebab, menurut Guru Besar Studi Korea di Kookmin University, Seoul, Korsel, Andrei Lankov, isu itu bukan persoalan Korsel semata, melainkan lebih ke masalah AS. Namun, peran Korsel juga penting karena mereka bisa mendorong AS untuk menerima jalan tengah dari isu nuklir Korut ini.
Banyak pula pendapat yang tidak yakin Korut akan mau menghentikan program nuklir setelah selama puluhan tahun mengembangkan dan mengeluarkan banyak biaya. ”Perlucutan senjata itu tidak akan disepakati. Bisa jadi, Korut akan berusaha untuk berubah arah, tetapi sambil membuat senjata nuklir,” kata peneliti Semenanjung Korea di Kelompok Krisis Internasional, Christopher Green.
Jong Un sangat menggantungkan diri pada dukungan kelompok elite yang berjumlah 2 juta jiwa dan mayoritas tinggal di Pyongyang. Menurut informasi dari intelijen Korsel, kelompok elite itu yang kini semakin merasa arah bangsa tidak jelas. ”Mereka tidak yakin negara akan bisa bertahan dan mempunyai masa depan bagi anak-anak mereka,” ujar Green.
Jong Un dikhawatirkan hanya akan mau memenuhi tuntutan komunitas internasional dan Trump demi pengurangan beban sanksi ekonomi. Di sisi lain, AS dan China pada tahun lalu sepakat bahwa perlucutan nuklir di Semenanjung Korea harus dilakukan dengan ”sempurna, bisa dibuktikan, dan tidak bisa diubah” lagi.
Sebaliknya, Korut dikhawatirkan mempunyai interpretasi yang berbeda. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan diplomasi Kim Jong Un yang berjanji tidak akan lagi melakukan uji rudal dan nuklir serta tidak akan kembali mengembangkan persenjataan nuklir.
”Korut tidak merujuk pada pengertian perlucutan seperti yang menjadi syarat dari negara-negara Barat itu,” tulis analis kimia, biologi, radiologi, dan pertahanan nuklir Karl Dewey.