Jabat tangan erat antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Jumat (27/4/2018), di garis batas demarkasi militer di Panmunjom, sempat menggetarkan hati. Apalagi, seusai disambut oleh Moon di wilayah Korsel, Jong Un dengan ramah mengajak Moon melintas ke wilayah Korut.
Tawaran itu disambut baik—meskipun Moon awalnya tampak sedikit ragu. Mereka pun bersama-sama melintasi garis beton di perbatasan itu dan kembali berjabat tangan. Dan kali ini, jabat tangan di wilayah Korut itu mengundang tepuk ta-
ngan meriah dari mereka yang hadir menyaksikan pertemuan bersejarah itu.
”Saya pikir dia punya selera humor. Dia jelas berbeda dari generasi ayahnya,” kata Lee Seung-won, seorang pekerja kantor di Seoul. ”Aku pikir aku tidak akan pernah melihat pemandangan seperti itu sebelum aku mati,” tambahnya.
Meskipun banyak orang masih melihat Kim Jong Un sebagai sosok pemimpin otoriter, banyak pula warga Korsel yang bersimpati padanya. Simpati itu menjadi bagian dari harapan, pertemuan antara Kim Jong Un dan Moon Jae-in melahirkan era baru bagi Korea. Apalagi pada buku tamu di Gedung Perdamaian, tempat mereka bertemu, Jong Un menulis, ”Sejarah baru dimulai sekarang. Era kedamaian, dari titik awal sejarah”.
Era kelam
Sedikit melintas ke belakang, harapan akan sejarah baru bagi Korea adalah keinginan yang sangat wajar. Sejak 1910, Korea jatuh ke tangan Jepang lewat Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea. Kekaisaran itu menyingkirkan Dinasti Joseon yang telah beratus tahun memimpin Semenanjung Korea.
Merujuk laman www.newworldencyclopedia.org, ketika Jepang perang dan takluk pada sekutu, tidak serta-merta Korea menikmati kebebasan. Sebelum perang usai, pada Konferensi Kairo, 22 November 1943, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat sepakat bahwa ”pada waktunya Korea akan menjadi bebas dan mandiri”.
Jelang akhir Perang Dunia II, pada 9 Agustus 1945, tank Soviet memasuki Korea Utara dari Siberia. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, 15 Agustus 1945, Korea terbagi menjadi dua zona pendudukan. Pembagian itu efektif berlaku pada 8 September 1945. Soviet mengelola wilayah utara dan AS bagian selatan semenanjung. Berbagai pertemuan membahas masa depan Korea pernah digelar di Moskwa dan Seoul, tetapi semuanya menemui jalan buntu, terutama saat membahas pembentukan pemerintah nasional. Hingga akhirnya pecah Perang Korea pada 1950, ketika di bawah Kim Il Sung, Korut menyerbu Korsel.
Untuk mengakhiri konflik, sejumlah jenderal AS, China, dan Korut menandatangani gencatan senjata pada 1953. Namun, pemimpin Korsel saat iu, Syngman Rhee, menolak menandatanganinya. Sejak saat itu, tidak pernah ada negosiasi atau perjanjian damai antara kedua negara. Akibatnya, secara teknis, hingga saat ini Korut dan Korsel berada pada situasi perang.
Reunifikasi
Dalam catatan The New York Times, pertemuan antara pemimpin kedua Korea pernah dirancang dan digelar pada 1994. Namun, rencana itu gagal menyusul kematian Bapak Pendiri Korut, sekaligus pemimpin Korut saat itu, Kim Il Sung.
Pertemuan pertama baru terjadi pada Juni 2000. Kala itu, Korut tengah didera kelaparan hebat yang menewaskan sekitar dua juta jiwa. Pertemuan Pemimpin Korut Kim Jong Il dan Presiden Korsel Kim Dae-jung itu membawa angin segar bagi Korut. Kim Dae-jung, setiap tahun, antara lain mengirim ratusan ribu ton makanan dan pupuk ke Korut. Atas langkahnya, Kim Dae-jung dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2000.
Pertemuan kedua digelar di era Presiden Roh Moo-hyun, yang sepakat mendorong perkembangan ekonomi kedua Korea.
Pada era 1994-2007, Pyongyang juga bersepakat dengan AS terkait program nuklir Korut. Pada era Presiden Bill Clinton, imbalan dari kesepakatan itu adalah pengiriman minyak. Adapun pada era Presiden George W Bush, imbalan kesepakatan itu adalah bantuan bahan makanan.
Sayangnya, setiap kali perjanjian disepakati, setiap kali itu pula perjanjian tidak berlanjut dan memberi ruang lebih besar bagi Korut mengembangkan program nuklir dan rudal balistik antarbenua Korut.
Saat ini, pengalaman tersebut membayangi pertemuan antara Moon Jae-in dan Kim Jong Un. Sejumlah pihak masih meragukan kesungguhan Korut. Ada skeptisisme atas hasil konsistensi pertemuan mereka dan janji Jong Un untuk menghentikan program nuklir Korut.
Akan tetapi, dunia tetap boleh berharap, kali ini ada langkah lebih positif.
”Hari ini, daripada membuat hasil yang tidak akan bisa kita lakukan seperti pada masa lalu, kita harus membuat hasil yang baik dengan berbicara terus terang tentang isu-isu terkini, masalah yang menarik,” kata Jong Un. Semoga....
(AP/AFP/Reuters/JOS)