Antara Kubu Penguasa dan Oposisi
Sejak 7 April 2018, Malaysia tidak me- miliki kepala pemerintahan dan kabinet definitif. Meskipun demikian, warga merasa semua baik-baik saja dan berha- rap segalanya tetap akan baik-baik selepas 9 Mei 2018.
”Sekarang yang memiliki kuasa sebenarnya (definitif) hanya Yang Dipertuan Agung (Raja Malaysia). Malaysia sedang tidak mempunyai pemerintahan. Encik boleh lihat, semua berjalan dengan normal,” kata Abdullah Zulkifli (65), warga Rawang, kawasan di Selangor utara.
Mohammad Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia sejak 2009, sekarang berstatus pelaksana tugas PM. Dalam rangka persiapan pemilu, Najib mengumumkan pembubaran parlemen pada 6 April 2018. Parlemen Malaysia, yang 132 dari 222 kursinya dikuasai Barisan Nasional (BN) atau koalisi partai pendukung pemerintah, efektif bubar pada 7 April 2018.
Saat mengumumkan pembubaran kabinet, Najib tidak menyampaikan tanggal pemungutan suara. Beberapa hari kemudian baru disampaikan bahwa pemungutan suara berlangsung pada 9 Mei 2018.
Seperti di beberapa negara yang menerapkan sistem parlementer, tokoh yang menjadi PM membentuk kabinet dengan dukungan partai atau gabungan partai pemilik kursi mayoritas di parlemen. Kala dukungan kurang dari batas minimal atau parlemen bubar, dengan sendirinya PM dan kabinetnya tidak memiliki kekuasaan definitif lagi.
”Saya tidak tahu akan memilih atau tidak. Saya sudah terdaftar dan mungkin akan pulang ke kampung tempat saya terdaftar,” kata Mohammad Motallib, penduduk kawasan Nilai, Negeri Sembilan.
Ketiadaan pekerjaan dan usaha tetap menjadi pemicu utama keengganan Motallib untuk memilih. Toko Motallib, pada tahun lalu, bangkrut dan ia belum mendapat usaha atau pekerjaan baru sampai sekarang.
Untuk membiayai kehidupan sehari-hari, Motallib menjadi pengemudi mobil sewaan yang tidak pasti pendapatannya. ”Apa saya mendapatkan pekerjaan setelah pemilu? Tidak ada jaminan. Siapa pun yang menang, saya tetap seperti ini,” ujarnya.
Perubahan
Kegamangan karena pekerjaan juga dilontarkan oleh Mohammad Nor (24). Pemuda asal Kelantan yang sudah lima tahun merantau di Kuala Lumpur itu terpaksa bekerja serabutan setelah lulus kuliah pada 2017.
”Dulu saya belajar bahasa Arab karena merencanakan menjadi guru atau bekerja di perusahaan yang membutuhkan kepandaian berbahasa Arab. Keadaan berubah, saya tidak menjadi apa yang sudah saya cita-citakan,” ujar Nor.
Nor mengharapkan pemerintah hasil pemilu 2018 bisa membuat perubahan. Karena itu, ia memutuskan untuk menggunakan hak pilih. ”Saya akan pulang ke Kelantan awal Mei, menengok orangtua sekaligus memberikan suara,” kata Nor.
Diperlukan sedikitnya 15 jam perjalanan dengan kendaraan umum untuk sampai di kampung halaman Nor. ”Saya menginginkan oposisi menang. Sudah cukup untuk BN,” kata Nor yang tidak menyebut akan memilih oposisi yang mana.
Pada pemilu ke-14 ini, ada dua kelompok oposisi utama, yakni Pakatan Harapan dan Gagasan Sejahtera. Pakatan Harapan dimotori Partai Amanah yang dipimpin keluarga Anwar Ibrahim, politisi Malaysia yang bolak-balik dipenjara, dan Partai Pribumi yang dipimpin Mahathir Mohammad.
Adapun Gagasan Sejahtera dimotori Partai Islam Malaysia (PAS). Partai ini pernah bergabung dengan Amanah dan memotori Pakatan Rakyat pada pemilu-pemilu sebelumnya. Belakangan, PAS memisahkan diri kemudian membentuk koalisi sendiri bersama tiga partai lain.
Penduduk kawasan Dengkil di Sepang, Zarif Mazhar (28), memastikan akan memilih Pakatan Rakyat. ”Ini pertama kali saya memilih. Saya sebenarnya bisa memilih sejak 2013. Akan tetapi, dulu saya tidak mau karena melihat tidak ada gunanya. Sekarang, saya menginginkan ada perubahan,” ujarnya.
Bagi pemuda yang memilih menjadi wiraswasta itu, menggunakan hak pilih adalah cara terlibat dalam perubahan negara. ”Mana tahu suara saya menjadi penentu dalam pilihan ini. Di mana-mana, orang membahas pilihan ini sengit. Suara partai penguasa bisa berkurang, suara oposisi bisa naik,” kata Zarif.
Tetap BN
Zulkifli memiliki pendapat yang berbeda. Sejak memiliki hak pilih pada 1978, ia selalu memilih calon yang diusung oleh BN yang sudah berkuasa sejak pemilu pertama digelar Malaysia pada 1953.
”Saya ingin keadaan terus membaik. Kerajaan (pemerintah) sudah berbuat banyak,” ujar Zulkifli yang sejak lahir sampai kini terus berada di Rawang.
Ia mengaku apolitis dan hanya melihat fakta. Penggunaan hak pilih dianggapnya sebagai kewajiban warga negara. ”Orang bisa sibuk membahas urusan elite. Kami di bawah hanya mengetahui bahwa barang-barang mudah diperoleh. Negara aman, badan sehat,” kata Zulkifli.
Bagi dia dan rekan seusianya, BN sudah melakukan banyak hal sejak Malaysia merdeka. ”Kalau BN tidak berkuasa, mana bisa mereka melakukan berbagai macam untuk rakyat seperti saya. Saya mau terus seperti ini,” kata Zulkifli.
Direktur Program Merdeka Center Ibrahim Suffian mengatakan, pemilu 2018 memang sangat sengit. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan oposisi dan penguasa bersaing ketat di banyak daerah.
Secara singkat, banyak pemilih berusia di bawah 45 tahun cenderung memilih Pakatan Harapan karena faktor Mahathir. Penyebabnya, mereka tumbuh pada masa pemerintahan Mahathir berkuasa selama 22 tahun, hingga 2003.
Selain berasal dari kelompok penduduk berusia muda, pemilih oposisi juga banyak yang tinggal di perkotaan. Sebaliknya, para pemilih yang senior dan tinggal di pedesaan cenderung untuk memberikan suara kepada BN.