Havana
”Fajar baru akan menerangi masa depan kita, masa depan yang akan lebih cemerlang, Sosialisme yang akan lebih berbudi halus, karya Revolusioner yang akan lebih menjanjikan”. Fidel Castro
Harian The New York Times, pada 4 Januari 1959, menurunkan berita berjudul ”First Step to A New Era” yang ditulis oleh Herbert I Matthews. Tiga hari sebelumnya, diktator Kuba, Jenderal Fulgencio Batista (1901-1973), dukungan Amerika Serikat, berhasil disingkirkan oleh revolusi pimpinan Fidel Castro. Ketika fajar menyingsing, pasukan Castro memasuki kota Havana.
Sebelum fajar, Batista, yang disebut ”El Hombre, the Man”,salah seorang pemimpin kontroversial Kuba, bersama keluarganya serta 180 orang dekatnya meninggalkan negeri itu. Pada 16 Februari 1959, Fidel Castro menjadi perdana menteri pemerintahan revolusioner, menggantikan Miró Cardona. Sejak itu hingga 2008, Castro menjadi orang nomor satu di negerinya. Castro adalah Kuba; dan Kuba adalah Castro.
Apakah munculnya Fidel Castro setelah menyingkirkan Batista ini, yang disebut oleh The New York Times ketika itu, sebagai ”Langkah Pertama ke Sebuah Era Baru?” Pada masa itu, banyak rakyat Kuba yang mengartikan bahwa melawan diktator Batista dan mendukung Castro berarti berjuang untuk menegakkan kebebasan, untuk membangun demokrasi, dan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, yang bersih, yang melindungi dan mengutamakan rakyat.
Apalagi ”Gerakan 26 Juli”—tanggal 26 Juli mengacu pada tanggal dimulainya revolusi Castro melawan Batista, 26 Juli 1953—mengampanyekan pemilihan umum terbuka, menegakkan hak-hak sipil yang lebih besar, dan reformasi pendidikan serta ekonomi.
Karena itu, runtuhnya rezim Batista, dan lahirnya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Castro, diharapkan akan membawa angin perubahan di Kuba. Castrolah, Sang Komandan, El Comandante, yang membawa perahu Kuba mengarungi samudra luas menuju ufuk timur, tempat Matahari terbit.
Akan tetapi, sampai akhirnya Castro mengembuskan napas terakhir, pada 25 November 2016—berarti 57 tahun setelah revolusi berakhir—”Matahari” tak pernah terbit di Kuba. Yang pernah dikatakan Castro—”Fajar baru akan menerangi masa depan kita, masa depan yang akan lebih cemerlang, Sosialisme yang akan lebih berbudi halus, karya Revolusioner yang akan lebih menjanjikan”—tidak pernah menjadi kenyataan.
Idealisme Castro tidak mampu memberikan makan kepada rakyatnya.
Barangkali hanya sedikit negara di dunia ini yang pembangunan ekonomi dan negerinya sangat bergantung pada dunia luar. Sejak revolusi 1959, dapat dikatakan Kuba menderita karena politik internasional sebagai akibat dari pertarungan ekonomi dan geopolitik raksasa dunia. Pembangunan masyarakat pasca-revolusi dan keberlangsungannya pada dasarnya tergantung pada dukungan adikuasa yang bertarung dalam Perang Dingin, dalam hal ini Uni Soviet. Setelah Perang Dingin berakhir, dan Uni Soviet runtuh, Kuba belum bisa mandiri. Mereka masih tetap bergantung pada kekuatan luar, seperti Venezuela, juga Brasil dan China. Dukungan kaum diaspora Kuba, yang antara lain di AS, tentu tidak bisa diabaikan (Stuti Banerjee: 2017).
Akan tetapi, setelah Venezuela bergolak dan mengalami krisis politik serta ekonomi sepeninggal Hugo Chávez; Brasil juga lebih fokus mengurusi persoalan dalam negeri, baik politik maupun ekonomi; serta China mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi, Kuba dipaksa untuk melakukan transformasi. Selama hampir enam puluh tahun berevolusi—revolusi tak pernah mati—Kuba terpaksa berubah ketika dunia di sekitarnya juga berubah.
Pemerintah Havana harus meletakkan dasar-dasar revolusi baru atau membangun model revolusi baru yang sesuai dengan tuntutan zaman; yang bisa menjawab tantangan dunia yang berubah dan semakin terkoneksi. Raul Castro, yang melanjutkan kepemimpinan Kuba sejak 2006, mulai meletakkan model revolusi baru meskipun tidak jauh dari model lama.
Di bawah Raul Castro, Kuba dengan hati-hati mendekati reformasi ekonomi. Raul Castro tidak pernah mendefinisikan reformasi ekonomi yang dijalankan sebagai langkah ke arah pasar kapitalis yang mendorong demokrasi liberal. Namun, ia hanya mengatakan, tujuan reformasinya adalah memberikan kerangka material untuk apa yang dilukiskan sebagai ”sosialisme yang makmur dan berkesinambungan” (Arturo Lopez Levy: 2016).
Reformasi itu merupakan jawaban terhadap situasi hilangnya karisma Fidel Castro. Keadaan itu telah mendorong partai yang berkuasa di Kuba untuk mencari cara-cara legitimasi baru melalui prestasi ekonomi yang lebih kuat. Kongres Ke-6 Partai Komunis Kuba (CCP) pada 2011 menegaskan, tujuan reformasi adalah bukan melakukan transformasi model ekonomi yang ada secara substansial, melainkan untuk ”memperbaruinya” dengan tetap mempertahankan hegemoni negara terhadap pasar dan properti non-negara (swasta).
Cerita Klan Castro mendadak berhenti ketika pekan lalu Raus Castro menunjuk Miguel Diaz-Canel (57) menggantikannya sebagai presiden Kuba. Diaz-Canel, yang ketika Castro memenangi revolusi belum lahir, kini harus melanjutkan revolusi itu. Ia dipaksa untuk menginterpretasi revolusi yang ditinggalkan oleh Fidel dan Raul Castro di atas fondasi yang telah diletakkan. Akan menjadi seperti apa Havana, Kuba, di tangan seorang generasi baru yang tidak ikut merasakan revolusi yang berdarah-darah, yang telah menelan begitu banyak korban jiwa?
Apakah Diaz-Canel akan berarti menginterpretasikan secara bebas revolusi peninggalan Castro dan membawa Kuba menyusuri jalan ”revolusi baru” selaras dengan perkembangan dunia; selaras dengan tunggang-langgangnya dunia saat ini? Bukankah komunis telah mati di Eropa; komunisme China pun telah berpelukan dengan dunia bebas, pasar bebas, dengan kuasa modal; Uni Soviet sudah bubar bertahun-tahun silam; sosialisme tak berdaya menghadapi kapitalisme.
Diaz-Canel adalah generasi baru Kuba, ”membawa fajar baru bagi Kuba”, seperti dimimpikan oleh Fidel Castro, dulu.